B. Kelompok Pelayanan Berfokus Pada Pasien

1. Akses dan Kesinambungan Pelayanan (AKP)

Gambaran Umum

Rumah sakit mempertimbangkan bahwa asuhan di rumah sakit merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional pemberi asuhan (PPA) dan tingkat pelayanan yang akan membangun suatu kesinambungan pelayanan. Dimulai dengan skrining, yang tidak lain adalah memeriksa pasien secara cepat, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien.

Tujuan sistem pelayanan yang terintegrasi adalah menyelaraskan kebutuhan asuhan pasien dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan pelayanan, merencanakan pemulangan dan tindakan selanjutnya. Hasil yang diharapkan dari proses asuhan di rumah sakit adalah meningkatkan mutu asuhan pasien dan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.

Fokus pada standar mencakup:

  1. Skrining pasien di rumah sakit;
  2. Registrasi dan admisi di rumah sakit;
  3. Kesinambungan pelayanan;
  4. Transfer pasien internal di dalam rumah sakit;
  5. Pemulangan, rujukan dan tindak lanjut; dan
  6. Transportasi.

a. Skrining pasien di rumah sakit

1. Standar AKP 1

Rumah sakit menetapkan proses skrining baik pasien rawat inap maupun rawat jalan untuk mengidentifikasi pelayanan Kesehatan yang dibutuhkan sesuai dengan misi serta sumber daya rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan AKP 1

Menyesuaikan kebutuhan pasien dengan misi dan sumber daya rumah sakit bergantung pada informasi yang diperoleh tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat skrining pada kontak pertama. Skrining penerimaan pasien dilaksanakan melalui jalur cepat (fast track) kriteria triase, evaluasi visual atau pengamatan, atau hasil pemeriksaan fisis, psikologis, laboratorium klinis, atau diagnostik imajing sebelumnya. Skrining dapat dilakukan di luar rumah sakit seperti ditempat pasien berada, di ambulans, atau saat pasien tiba di rumah sakit.

Keputusan untuk mengobati, mentransfer atau merujuk dilakukan setelah hasil hasil skrining selesai dievaluasi. Bila rumah sakit mempunyai kemampuan memberikan pelayanan yang dibutuhkan serta konsisten dengan misi dan kemampuan pelayanannya maka dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan. Skirining khusus dapat dilakukan oleh RS sesuai kebutuhan seperti skrining infeksi (TBC, PINERE, COVID- 19, dll), skrining nyeri, skrining geriatri, skrining jatuh atau skrining lainnya

3. Elemen Penilaian AKP 1

  1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi akses dan kesinambungan pelayanan (AKP) meliputi poin a) – f) pada gambaran umum.
  2. Rumah sakit telah menerapkan proses skrining baik di dalam maupun di luar rumah sakit dan terdokumentasi.
  3. Ada proses untuk memberikan hasil pemeriksaan diagnostik kepada tenaga kesehatan yang kompeten/terlatih untuk bertanggung jawab menentukan apakah pasien akan diterima, ditransfer, atau dirujuk.
  4. Bila kebutuhan pasien tidak dapat dipenuhi sesuai misi dan sumber daya yang ada, maka rumah sakit akan merujuk atau membantu pasien ke fasilitas pelayanan yang sesuai kebutuhannya.

4. Standar AKP 1.1

Pasien dengan kebutuhan darurat, sangat mendesak, atau yang membutuhkan pertolongan segera diberikan prioritas untuk pengkajian dan tindakan.

5. Maksud dan Tujuan AKP 1.1

Pasien dengan kebutuhan gawat dan/atau darurat, atau pasien yang membutuhkan pertolongan segera diidentifikasi menggunakan proses triase berbasis bukti untuk memprioritaskan kebutuhan pasien, dengan mendahulukan dari pasien yang lain. Pada kondisi bencana, dapat menggunakan triase bencana. Sesudah dinyatakan pasien darurat, mendesak dan membutuhkan pertolongan segera, dilakukan pengkajian dan memberikan pelayanan sesegera mungkin. Kriteria psikologis berbasis bukti dibutuhkan dalam proses triase untuk kasus kegawatdaruratan psikiatris. Pelatihan bagi staf diadakan agar staf mampu menerapkan kriteria triase berbasis bukti dan memutuskan pasien yang membutuhkan pertolongan segera serta pelayanan yang dibutuhkan.

6. Elemen Penilaian AKP 1.1

  1. Proses triase dan pelayanan kegawatdaruratan telah diterapkan oleh staf yang kompeten dan bukti dokumen kompetensi dan kewenangan klinisnya tersedia.
  2. Staf telah menggunakan kriteria triase berbasis bukti untuk memprioritaskan pasien sesuai dengan kegawatannya.
  3. Pasien darurat dinilai dan distabilkan sesuai kapasitas rumah sakit sebelum ditransfer ke ruang rawat atau dirujuk dan didokumentasikan dalam rekam medik.

7. Standar AKP 1.2

Rumah sakit melakukan skrining kebutuhan pasien saat admisi rawat inap untuk menetapkan pelayanan preventif, paliatif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan intensif.

8. Maksud dan Tujuan AKP 1.2

Ketika pasien diputuskan diterima untuk masuk rawat inap, maka proses skrining akan membantu staf mengidentifikasi pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif, paliatif yang dibutuhkan pasien kemudian menentukan pelayanan yang paling sesuai dan mendesak atau yang paling diprioritaskan.

Setiap rumah sakit harus menetapkan kriteria prioritas untuk menentukan pasien yang membutuhkan pelayanan di unit khusus/spesialistik (misalnya unit luka bakar atau transplantasi organ) atau pelayanan di unit intensif (misalnya ICU, ICCU, NICU, PICU, pascaoperasi). Kriteria prioritas meliputi kriteria masuk dan kriteria keluar menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis.

Dengan mempertimbangkan bahwa pelayanan di unit khusus/spesialistik dan di unit intensif menghabiskan banyak sumber daya, maka rumah sakit dapat membatasi hanya pasien dengan kondisi medis yang reversibel yang dapat diterima dan pasien kondisi khusus termasuk menjelang akhir kehidupan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Staf di unit khusus/spesialistik atau unit intensif berpartisipasi dalam menentukan kriteria masuk dan kriteria keluar dari unit tersebut. Kriteria dipergunakan untuk menentukan apakah pasien dapat diterima di unit tersebut, baik dari dalam atau dari luar rumah sakit.

Pasien yang diterima di unit tersebut harus dilakukan pengkajian ulang untuk menentukan apakah kondisi pasien berubah sehingga tidak memerlukan lagi pelayanan khusus/intensif misalnya, jika status fisiologis sudah stabil dan pemantauan intensif baik sehingga tindakan lain tidak diperlukan lagi maka pasien dapat dipindah ke unit layanan yang lebih rendah (seperti unit rawat inap atau unit pelayanan paliatif).

Apabila rumah sakit melakukan penelitian atau menyediakan pelayanan spesialistik atau melaksanakan program, penerimaan pasien di program tersebut harus melalui kriteria tertentu atau ketentuan protokol. Mereka yang terlibat dalam riset atau program lain harus terlibat dalam menentukan kriteria atau protokol. Penerimaan ke dalam program tercatat di rekam medis pasien termasuk kriteria atau protokol yang diberlakukan terhadap pasien yang diterima masuk.

9. Elemen Penilaian AKP 1.2

  1. Rumah sakit telah melaksanakan skrining pasien masuk rawat inap untuk menetapkan kebutuhan pelayanan preventif, paliatif, kuratif, dan rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan intensif.
  2. Rumah sakit telah menetapkan kriteria masuk dan kriteria keluar di unit pelayanan khusus/spesialistik menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis dan terdokumentasikan di rekam medik.
  3. Rumah sakit telah menerapkan kriteria masuk dan kriteria keluar di unit pelayanan intensif menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis dan terdokumentasikan di rekam medik
  4. Staf yang kompeten dan berwenang di unit pelayanan khusus dan unit pelayanan intensif terlibat dalam penyusunan kriteria masuk dan kriteria keluar di unitnya.

10. Standar AKP 1.3

Rumah Sakit mempertimbangkan kebutuhan klinis pasien dan memberikan informasi kepada pasien jika terjadi penundaan dan kelambatan pelaksanaan tindakan/pengobatan dan atau pemeriksaan penunjang diagnostik.

11. Maksud dan Tujuan AKP 1.3

Pasien diberitahu jika ada penundaan dan kelambatan pelayanan antara lain akibat kondisi pasien atau jika pasien harus masuk dalam daftar tunggu. Pasien diberi informasi alasan mengapa terjadi penundaan/kelambatan pelayanan dan alternatif yang tersedia. Ketentuan ini berlaku bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta pemeriksaan penunjang diagnostik. Untuk beberapa pelayanan, seperti onkologi atau transplan tidak berlaku ketentuan tentang penundaan/kelambatan pelayanan atau pemeriksaan.

Hal ini tidak berlaku untuk keterlambatan staf medis di rawat jalan atau bila unit gawat darurat terlalu ramai dan ruang tunggunya penuh. (Lihat juga ACC.2). Untuk layanan tertentu, seperti onkologi atau transplantasi, penundaan mungkin sesuai dengan norma nasional yang berlaku untuk pelayanan tersebut.

12. Elemen Penilaian AKP 1.3

  1. Pasien dan atau keluarga diberi informasi jika ada penundaan dan atau keterlambatan pelayanan beserta alasannya dan dicatat di rekam medis.
  2. Pasien dan atau keluarga diberi informasi tentang alternatif yang tersedia sesuai kebutuhan klinis pasien dan dicatat di rekam medis.

b. Registrasi dan admisi di rumah sakit

1. Standar AKP 2

Rumah Sakit menetapkan proses penerimaan dan pendaftaran pasien rawat inap, rawat jalan, dan pasien gawat darurat.

2. Maksud dan Tujuan AKP 2

Rumah sakit melaksanakan proses penerimaan pasien rawat inap dan pendaftaran pasien rawat jalan dan gawat darurat sesuai peraturan perundang-undangan. Staf memahami dan mampu melaksanakan proses penerimaan pasien. Proses tersebut antara lain meliputi:

  1. Pendaftaran pasien gawat darurat;
  2. Penerimaan langsung pasien dari IGD ke rawat inap;
  3. Admisi pasien rawat inap;
  4. Pendaftaran pasien rawat jalan;
  5. Observasi pasien; dan
  6. Mengelola pasien bila tidak tersedia tempat tidur. Rumah Sakit sering melayani berbagai pasien misalnya pasien lansia, disabilitas (fisik, mental, intelektual), berbagai bahasa dan dialek, budaya yang berbeda atau hambatan yang lainnya, sehingga dibutuhkan sistem pendaftaran dan admisi secara online. Sistim tersbut diharapkan dapat mengurangi hambatan pada saat penerimaan pasien.

Saat pasien diputuskan untuk rawat inap, maka staf medis yang memutuskan tersebut memberi informasi tentang rencana asuhan yang diberikan dan hasil asuhan yang diharapkan. Informasi juga harus diberikan oleh petugas admisi/pendaftaran rawat inap tentang perkiraan biaya selama perawatan. Pemberian informasi tersebut didokumentasikan.

Keselamatan pasien adalah salah satu aspek perawatan pasien yang penting. Orientasi lingkungan di bangsal rawat inap dan peralatan yang terkait dalam pemberian perawatan dan pelayanan yang diberikan merupakan salahsatukomponenpentingdarikeselamatanpasien.

3. Elemen Penilaian AKP 2

  1. Rumah sakit telah menerapkan proses penerimaan pasien meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan.
  2. Rumah sakit telah menerapkan sistim pendaftaran pasien rawat jalan dan rawat inap baik secara offline maupun secara online dan dilakukan evaluasi dan tindak lanjutnya.
  3. Rumah sakit telah memberikan informasi tentang rencana asuhan yang akan diberikan, hasil asuhan yang diharapkan serta perkiraan biaya yang harus dibayarkan oleh pasien/keluarga.
  4. Saat diterima sebagai pasien rawat inap, pasien dan keluarga mendapat edukasi dan orientasi tentang ruang rawat inap.

4. Standar AKP 2.1

Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola alur pasien di seluruh area rumah sakit.

5. Maksud dan Tujuan AKP 2.1

Rumah sakit menetapkan pengelolaan alur pasien saat terjadi penumpukan pasien di UGD sementara tempat tidur di rawat inap sedang terisi penuh. Pengelolaan alur tersebut harus dilakukan secara efektif mulai dari penerimaan, pengkaijan, tindakan, transfer pasien sampai pemulangan untuk mengurangi penundaan asuhan kepada pasien. Komponen pengelolaan alur pasien tersebut meliputi:

  1. Ketersediaan tempat tidur di tempat sementara/transit/intermediate sebelum mendapatkan tempat tidur di rawat inap;
  2. Perencanaan fasilitas, peralatan, utilitas, teknologi medis, dan kebutuhan lain untuk mendukung penempatan sementara pasien;
  3. Perencanaan tenaga untuk memberikan asuhan pasien di tempat sementara/transit termasuk pasien yang diobservasi di unit gawat darurat;
  4. Alur pelayanan pasien di tempat sementara/transit meliputi pemberian asuhan, tindakan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan di kamar operasi, dan unit pascaanestes harus sama seperti yang diberikan dirawat inap;
  5. Efisiensi pelayanan nonklinis penunjang asuhan dan tindakan kepada pasien (seperti kerumahtanggaan dan transportasi);
  6. Memberikan asuhan pasien yang sama kepada pasien yang dirawat di tempat sementara/transit/intermediate seperti perawatan kepada pasien yang dirawat di ruang rawat inap; dan
  7. Akses pelayanan yang bersifat mendukung (seperti pekerja sosial, keagamaan atau bantuan spiritual, dan sebagainya).

Pemantauan dan perbaikan proses ini bermanfaat untuk mengatasi masalah penumpukan pasien. Semua staf rumah sakit, mulai dari unit gawat darurat, unit rawat inap, staf medis, keperawatan, administrasi, lingkungan, dan manajemen risiko dapat ikut berperan serta menyelesaikan masalah alur pasien ini. Koordinasi dapat dilakukan oleh Manajer Pelayanan Pasien (MPP)/Case Manager.

Rumah sakit harus menetapkan standar waktu berapa lama pasien dapat diobservasi di unit gawat darurat dan kapan harus di transfer ke di lokasi sementara/transit/intermediate sebelum ditransfer ke unit rawat inap di rumah sakit. Diharapkan rumah sakit dapat mengatur dan menyediakan tempat tersebut bagi pasien.

6. Elemen Penilaian AKP 2.1

  1. Rumah sakit telah melaksanakan pengelolaan alur pasien untuk menghindari penumpukan. mencakup poin a) – g) pada maksud dan tujuan.
  2. Manajer pelayanan pasien (MPP)/case manager bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengaturan alur pasien untuk menghindari penumpukan.
  3. Rumah sakit telah melakukan evaluasi terhadap pengelolaan alur pasien secara berkala dan melaksanakan upaya perbaikannya.
  4. Ada sistem informasi tentang ketersediaan tempat tidur secara online kepada masyarakat.

c. Kesinambungan pelayanan

1. Standar AKP 3

Rumah sakit memiliki proses untuk melaksanakan kesinambungan pelayanan di rumah sakit dan integrasi antara profesional pemberi asuhan (PPA) dibantu oleh manajer pelayanan pasien (MPP)/case manager.

2. Maksud dan Tujuan AKP 3

Pelayanan berfokus pada pasien diterapkan dalam bentuk Asuhan Pasien Terintegrasi yang bersifat integrasi horizontal dan vertikal. Pada integrasi horizontal kontribusi profesi tiap-tiap profesional pemberi asuhan (PPA) adalah sama pentingnya atau sederajat. Pada integrasi vertikal pelayanan berjenjang oleh/melalui berbagai unit pelayanan ke tingkat pelayanan yang berbeda maka peranan manajer pelayanan pasien (MPP) penting untuk integrasi tersebut dengan komunikasi yang memadai terhadap profesional pemberi asuhan (PPA).

Pelaksanaan asuhan pasien secara terintegrasi fokus pada pasien mencakup:

  1. Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga;

  2. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai Ketua tim asuhan pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) (clinical leader);

  3. Profesional pemberi asuhan (PPA) bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional dibantu antara lain oleh Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Profesional Pemberi Asuhan (PPA) lainnya, Alur Klinis/clinical pathway terintegrasi, Algoritme, Protokol, Prosedur, Standing Order dan CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi);

  4. Perencanaan pemulangan pasien (P3)/discharge planning terintegrasi;

  5. Asuhan gizi terintegrasi; dan

  6. Manajer pelayanan pasien/case manager.

Manajer Pelayanan Pasien (MPP) bukan merupakan profesional pemberi asuhan (PPA) aktif dan dalam menjalankan manajemen pelayanan pasien mempunyai peran minimal adalah sebagai berikut:

  1. Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan asuhan pasien;
  2. Mengoptimalkan terlaksananya pelayanan berfokus pada pasien;
  3. Mengoptimalkan proses reimbursemen; dan dengan fungsi sebagai berikut;
  4. Asesmen untuk manajemen pelayanan pasien;
  5. Perencanaan untuk manajemen pelayanan pasien;
  6. Komunikasi dan koordinasi;
  7. Edukasi dan advokasi; dan
  8. Kendali mutu dan biaya pelayanan pasien.

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan manajemen pelayanan pasien antara lain adalah:

  1. Pasien mendapat asuhan sesuai dengan kebutuhannya;
  2. Terpelihara kesinambungan pelayanan;
  3. Pasien memahami/mematuhi asuhan dan peningkatan kemandirian pasien;
  4. Kemampuan pasien mengambil keputusan;
  5. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarga;
  6. Optimalisasi sistem pendukung pasien;
  7. Pemulangan yang aman; dan
  8. Kualitas hidup dan kepuasan pasien.

Oleh karenanya, dalam pelaksanaan manajemen pelayanan pasien, manajer pelayanan pasien (MPP) mencatat pada lembar formulir A yang merupakan evaluasi awal manajemen pelayanan pasien dan formulir B yang merupakan catatan implementasi manajemen pelayanan pasien. Kedua formulir tersebut merupakan bagian rekam medis.

Pada formulir A dicatat antara lain identifikasi/skrining pasien untuk kebutuhan pengelolaan manajer pelayanan pasien (MPP) dan asesmen untuk manajemen pelayanan pasien termasuk rencana, identifikasi masalah – risiko – kesempatan, serta perencanaan manajemen pelayanan pasien, termasuk memfasiltasi proses perencanaan pemulangan pasien (discharge planning). Pada formulir B dicatat antara lain pelaksanaan rencana manajemen pelayanan pasien, pemantauan, fasilitasi, koordinasi, komunikasi dan kolaborasi, advokasi, hasil pelayanan, serta terminasi manajemen pelayanan pasien.

Agar kesinambungan asuhan pasien tidak terputus, rumah sakit harus menciptakan proses untuk melaksanakan kesinambungan dan koordinasi pelayanan di antara profesional pemberi asuhan (PPA), manajer pelayanan pasien (MPP), pimpinan unit, dan staf lain sesuai dengan regulasi rumah sakit di beberapa tempat.

  1. Pelayanan darurat dan penerimaan rawat inap;
  2. Pelayanan diagnostik dan tindakan;
  3. Pelayanan bedah dan nonbedah;
  4. Pelayanan rawat jalan; dan
  5. Organisasi lain atau bentuk pelayanan lainnya.

Proses koordinasi dan kesinambungan pelayanan dibantu oleh penunjang lain seperti panduan praktik klinis, alur klinis/clinical pathways, rencana asuhan, format rujukan, daftar tilik/check list lain, dan sebagainya. Diperlukan regulasi untuk proses koordinasi tersebut.

3. Elemen Penilaian AKP 3

  1. Para PPA telah memberikan asuhan pasien secara terintegrasi berfokus pada pasien meliputi poin a) - f) pada maksud dan tujuan.
  2. Ada penunjukkan MPP dengan uraian tugas meliputi poin a) - h) pada maksud dan tujuan.
  3. Para profesional pemberi asuhan (PPA) dan manajer pelayanan pasien (MPP) telah melaksanakan kesinambungan dan koordinasi pelayanan meliputi poin a) - e) pada maksud dan tujuan.
  4. Pencatatan perkembangan pasien didokumentasikan para PPA di formulir catatan pasien terintegrasi (CPPT).
  5. Pencatatan di unit intensif atau unit khusus menggunakan lembar pemantauan pasien khusus, pencatatan perkembangan pasien dilakukan pada lembar tersebut oleh DPJP di unit tersebut, PPA lain dapat melakukan pencatatan perkembangan pasien di formulir catatan pasien terintegrasi (CPPT).
  6. Perencanaan dan pelayanan pasien secara terintegrasi diinformasikan kepada pasien dan atau keluarga secara berkala sesuai ketentuan Rumah Sakit.

4. Standar AKP 3.1

Rumah sakit menetapkan bahwa setiap pasien harus memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) untuk memberikan asuhan kepada pasien.

5. Maksud dan Tujuan AKP 3.1

Asuhan pasien diberikan oleh profesional pemberi asuhan (PPA) yang bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) berperan sebagai ketua tim asuhan pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) (clinical leader).

Untuk mengatur kesinambungan asuhan selama pasien berada di rumah sakit, harus ada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai individu yang bertanggung jawab mengelola pasien sesuai dengan kewenangan klinisnya, serta melakukan koordinasi dan kesinambungan asuhan. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang ditunjuk ini tercatat namanya di rekam medis pasien.

Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)/para DPJP memberikan keseluruhan asuhan selama pasien berada di RS dapat meningkatkan antara lain kesinambungan, koordinasi, kepuasan pasien, mutu, keselamatan, dan termasuk hasil asuhan. Individu ini membutuhkan kolaborasi dan komunikasi dengan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya.

Bila seorang pasien dikelola oleh lebih satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) maka harus ditetapkan DPJP utama. Sebagai tambahan, rumah sakit menetapkan kebijakan dan proses perpindahan tanggung jawab dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain.

6. Elemen Penilaian AKP 3.1

  1. Rumah sakit telah menetapkan bahwa setiap pasien memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan telah melakukan asuhan pasien secara terkoordinasi dan terdokumentasi dalam rekam medis pasien. b Rumah sakit juga menetapkan proses perpindahan tanggung jawab koordinasi asuhan pasien dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain, termasuk bila terjadi perubahan DPJP utama.
  2. Bila dilaksanakan rawat bersama ditetapkan DPJP utama sebagai koordinator asuhan pasien.

d. Transfer pasien internal di dalam rumah sakit

1. Standar AKP 4

Rumah sakit menetapkan informasi tentang pasien disertakan pada proses transfer internal antar unit di dalam rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan AKP 4

Selama dirawat inap di rumah sakit, pasien mungkin dipindah dari satu pelayanan atau dari satu unit rawat inap ke berbagai unit pelayanan lain atau unit rawat inap lain. Jika profesional pemberi asuhan (PPA) berubah akibat perpindahan ini maka informasi penting terkait asuhan harus mengikuti pasien. Pemberian obat dan tindakan lain dapat berlangsung tanpa halangan dan kondisi pasien dapat dimonitor. Untuk memastikan setiap tim asuhan menerima informasi yang diperlukan maka rekam medis pasien ikut pindah atau ringkasan informasi yang ada di rekam medis disertakan waktu pasien pindah dan menyerahkan kepada tim asuhan yang menerima pasien.

Formulir transfer pasien internal meliputi:

  1. Alasan admisi;
  2. Temuan signifikan;
  3. Diagnosis;
  4. Prosedur yang telah dilakukan;
  5. Obat-obatan;
  6. Perawatan lain yang diterima pasien; dan
  7. Kondisi pasien saat transfer.

Bila pasien dalam pengelolaan manajer pelayanan pasien (MPP) maka kesinambungan proses tersebut di atas dipantau, diikuti, dan transfernya disupervisi oleh manajer pelayanan pasien (MPP).

3. Elemen penilaian AKP 4

  1. Rumah sakit telah menerapkan proses transfer pasien antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dilengkapi dengan formulir transfer pasien.
  2. Formulir transfer internal meliputi poin a) - g) pada maksud dan tujuan.

e. Pemulangan, rujukan dan tindak lanjut

1. Standar AKP 5

Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses pemulangan pasien dari rumah sakit berdasarkan kondisi kesehatan pasien dan kebutuhan kesinambungan asuhan atau tindakan.

2. Maksud dan Tujuan AKP 5

Merujuk atau mengirim pasien ke fasilitas pelayanan Kesehatan, maupun perorangan di luar rumah sakit didasarkan atas kondisi kesehatan pasien dan kebutuhannya untuk memperoleh kesinambungan asuhan. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya yang bertanggung jawab atas asuhan pasien berkordinasi menentukan kesiapan pasien untuk pulang dari rumah sakit berdasarkan kriteria atau indikasi rujukan yang ditetapkan rumah sakit.

Rujukan ke dokter spesialis, rehabilitasi fisik atau kebutuhan upaya preventif di rumah dikoordinasikan dengan keluarga pasien. Diperlukan proses yang terorganisir untuk memastikan bahwa kesinambungan asuhan dikelola oleh tenaga kesehatan atau oleh sebuah fasilitas pelayanan kesehatan di luar rumah sakit.

Pasien yang memerlukan perencanaan pemulangan pasien (discharge planning) maka rumah sakit mulai merencanakan hal tersebut sejak awal dan mencatatnya di pengkajian awal pasien. Untuk menjaga kesinambungan asuhan dilakukan secara terintegrasi melibatkan semua profesional pemberi asuhan (PPA) terkait difasilitasi oleh manajer pelayanan pasien (MPP). Keluarga dilibatkan sesuai dengan kebutuhan .

Rumah sakit dapat menetapkan kemungkinan pasien diizinkan keluar rumah sakit dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan penting.

3. Elemen Penilaian AKP 5

  1. Rumah sakit telah menetapkan kriteria pemulangan pasien sesuai dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan pelayanan pasien beserta edukasinya.
  2. Rumah sakit telah menetapkan kemungkinan pasien diizinkan keluar rumah sakit dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan penting.
  3. Penyusunan rencana dan instruksi pemulangan didokumentasikan dalam rekam medis pasien dan diberikan kepada pasien secara tertulis.
  4. Tindak lanjut pemulangan pasien bila diperlukan dapat ditujukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan baik perorangan ataupun dimana pasien untuk memberikan pelayanan berkelanjutan.

4. Standar AKP 5.1

Ringkasan pasien pulang (discharge summary) dibuat untuk semua pasien rawat inap yang keluar dari rumah sakit.

5. Maksud dan Tujuan AKP 5.1

Ringkasan pasien pulang memberikan gambaran tentang pasien yang dirawat di rumah sakit. Ringkasan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan.

Ringkasan pasien pulang (discharge summary) meliputi:

  1. Indikasi pasien masuk dirawat, diagnosis, dan komorbiditas lain;
  2. Temuan fisik penting dan temuan-temuan lain;
  3. Tindakan diagnostik dan prosedur terapi yang telah dikerjakan;
  4. Obat yang diberikan selama dirawat inap dengan potensi akibat efek residual setelah obat tidak diteruskan dan semua obat yang harus digunakan di rumah;
  5. Kondisi pasien (status present); dan
  6. Instruksi tindak lanjut.

Ringkasan pasien pulang dijelaskan dan ditandatangani oleh pasien/keluarga karena memuat instruksi tindak lanjut.

Ringkasan pasien pulang dibuat sebelum pasien keluar dari rumah sakit oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Satu salinan/copy dari ringkasan diberikan kepada tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan kepada pasien. Satu salinan diberikan kepada pasien sesuai dengan regulasi rumah sakit yang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Satu salinan diberikan kepada penjamin. Salinan ringkasan berada di rekam medis pasien.

6. Elemen Penilaian AKP 5.1

  1. Rumah sakit telah menetapkan Ringkasan pasien pulang meliputi a) – f) pada maksud dan tujuan.
  2. Rumah sakit memberikan salinan ringkasan pasien pulang kepada pihak yang berkepentingan dan tersimpan di dalam rekam medik.
  3. Formulir Ringkasan pasien pulang dijelaskan kepada pasien dan atau keluarga.

7. Standar AKP 5.2

Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola dan melakukan tindak lanjut pasien dan memberitahu staf rumah sakit bahwa mereka berniat keluar rumah sakit serta menolak rencana asuhan medis.

8. Standar AKP 5.3

Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola pasien yang menolak rencana asuhan medis yang melarikan diri.

9. Maksud dan Tujuan AKP 5.2 dan AKP 5.3

Jika seorang pasien rawat inap atau rawat jalan telah selesai menjalani pemeriksaan lengkap dan sudah ada rekomendasi tindakan yang akan dilakukan, kemudian pasien memutuskan meninggalkan rumah sakit maka pasien ini dianggap sebagai pasien keluar dan menolak rencana asuhan medis. Pasien rawat inap dan rawat jalan (termasuk pasien dari unit gawat darurat) berhak menolak tindakan medis dan keluar rumah sakit. Pasien ini menghadapi risiko karena menerima pelayanan atau tindakan tidak lengkap yang berakibat terjadi kerusakan permanen atau kematian. Jika seorang pasien rawat inap atau rawat jalan minta untuk keluar dari rumah sakit tanpa persetujuan dokter maka pasien harus diberitahu tentang risiko medis oleh dokter yang membuat rencana asuhan atau tindakan dan proses keluarnya pasien sesuai dengan regulasi rumah sakit. Jika pasien mempunyai dokter keluarga maka dokter keluarga tersebut harus diberitahu tentang keputusan pasien. Bila tidak ada dokter keluarga maka pasien dimotivasi untuk mendapat/mencari pelayanan kesehatan lebih lanjut.

Harus diupayakan agar mengetahui alasan mengapa pasien keluar menolak rencana asuhan medis. Rumah sakit perlu mengetahui alasan ini agar dapat melakukan komunikasi lebih baik dengan pasien dan atau keluarga pasien dalam rangka memperbaiki proses.

Jika pasien menolak rencana asuhan medis tanpa memberi tahu siapapun di dalam rumah sakit atau ada pasien rawat jalan yang menerima pelayanan kompleks atau pelayanan untuk menyelamatkan jiwa, seperti kemoterapi atau terapi radiasi, tidak kembali ke rumah sakit maka rumah sakit harus berupaya menghubungi pasien untuk memberi tahu tentang potensi risiko bahaya yang ada. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk proses ini sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk rumah sakit membuat laporan ke dinas kesehatan atau kementerian kesehatan tentang kasus infeksi dan memberi informasi tentang pasien yang mungkin mencelakakan dirinya atau orang lain.

10. Elemen Penilaian AKP 5.2

  1. Rumah sakit telah menetapkan proses untuk mengelola pasien rawat jalan dan rawat inap yang menolak rencana asuhan medis termasuk keluar rumah sakit atas permintaan sendiri dan pasien yang menghendaki penghentian pengobatan.
  2. Ada bukti pemberian edukasi kepada pasien tentang risiko medis akibat asuhan medis yang belum lengkap.
  3. Pasien keluar rumah sakit atas permintaan sendiri, tetapi tetap mengikuti proses pemulangan pasien.
  4. Dokter keluarga (bila ada) atau dokter yang memberi asuhan berikutnya kepada pasien diberitahu tentang kondisi tersebut.
  5. Ada dokumentasi rumah sakit melakukan pengkajian untuk mengetahui alasan pasien keluar rumah sakit apakah permintaan sendiri, menolak asuhan medis, atau tidak melanjutkan program pengobatan.

11. Elemen Penilaian AKP 5.3

  1. Ada regulasi yang mengatur pasien rawat inap dan rawat jalan yang meninggalkan rumah sakit tanpa pemberitahuan (melarikan diri).
  2. Rumah sakit melakukan identifikasi pasien menderita penyakit yang membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.
  3. Rumah sakit melaporkan kepada pihak yang berwenang bila ada indikasi kondisi pasien yang membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.

12. Standar AKP 5.4

Pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lain berdasar atas kondisi pasien untuk memenuhi kebutuhan asuhan berkesinambungan dan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan penerima untuk memenuhi kebutuhan pasien.

13. Maksud dan Tujuan AKP 5.4

Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan lain didasarkan atas kondisi pasien dan kebutuhan untuk memperoleh asuhan berkesinambungan. Rujukan pasien antara lain untuk memenuhi kebutuhan pasien atau konsultasi spesialistik dan tindakan, serta penunjang diagnostik. Jika pasien dirujuk ke rumah sakit lain, yang merujuk harus memastikan fasilitas kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien dan mempunyai kapasitas menerima pasien.

Diperoleh kepastian terlebih dahulu dan kesediaan menerima pasien serta persyaratan rujukan diuraikan dalam kerja sama formal atau dalam bentuk perjanjian. Ketentuan seperti ini dapat memastikan kesinambungan asuhan tercapai dan kebutuhan pasien terpenuhi. Rujukan terjadi juga ke fasilitas kesehatan lain dengan atau tanpa ada perjanjian formal.

14. Elemen Penilaian AKP 5.4

  1. Ada regulasi tentang rujukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Rujukan pasien dilakukan sesuai dengan kebutuhan kesinambungan asuhan pasien.
  3. Rumah sakit yang merujuk memastikan bahwa fasilitas kesehatan yang menerima dapat memenuhi kebutuhan pasien yang dirujuk.
  4. Ada kerjasama rumah sakit yang merujuk dengan rumah sakit yang menerima rujukan yang sering dirujuk.

15. Standar AKP 5.5

Rumah sakit menetapkan proses rujukan untuk memastikan pasien pindah dengan aman.

16. Maksud dan Tujuan AKP 5.5

Rujukan pasien sesuai dengan kondisi pasien, menentukan kualifikasi staf pendamping yang memonitor dan menentukan jenis peralatan medis khusus. Selain itu, harus dipastikan fasilitas pelayanan kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien dan mempunyai kapasitas pasien dan jenis teknologi medis. Diperlukan proses konsisten melakukan rujukan pasien untuk memastikan keselamatan pasien. Proses ini menangani:

  1. Ada staf yang bertanggung jawab dalam pengelolaan rujukan termasuk untuk memastikan pasien diterima di rumah sakit rujukan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien;
  2. Selama dalam proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang selalu memonitor dan mencatatnya dalam rekam medis;
  3. Dilakukan identifikasi kebutuhan obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan peralatan medis yang dibutuhkan selama proses rujukan; dan
  4. Dalam proses pelaksanaan rujukan, ada proses serah terima pasien antara staf pengantar dan yang menerima. Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap mutu dan keamanan proses rujukan untuk memastikan pasien telah ditransfer dengan staf yang kompeten dan dengan peralatan medis yang tepat.

17. Elemen Penilaian AKP 5.5

  1. Rumah sakit memiliki staf yang bertanggung jawab dalam pengelolaan rujukan termasuk untuk memastikan pasien diterima di rumah sakit rujukan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien.
  2. Selama proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang selalu memantau dan mencatatnya dalam rekam medis.
  3. Selama proses rujukan tersedia obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan, dan peralatan medis sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien.
  4. Rumah sakit memiliki proses serah terima pasien antara staf pengantar dan yang menerima.
  5. Pasien dan keluarga dijelaskan apabila rujukan yang dibutuhkan tidak dapat dilaksanakan.

18. Standar AKP 5.6

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk mengatur proses rujukan dan dicatat di rekam medis pasien.

19. Maksud dan Tujuan AKP 5.6

Informasi tentang pasien yang dirujuk disertakan bersama dengan pasien untuk menjamin kesinambungan asuhan.

Formulir rujukan berisi:

  1. Identitas pasien;
  2. Hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan;
  3. Diagnosis kerja;
  4. Terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan;
  5. Tujuan rujukan; dan
  6. Nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan rujukan.

Dokumentasi juga memuat nama fasilitas pelayanan kesehatan dan nama orang di fasilitas pelayanan kesehatan yang menyetujui menerima pasien, kondisi khusus untuk rujukan (seperti kalau ruangan tersedia di penerima rujukan atau tentang status pasien). Juga dicatat jika kondisi pasien atau kondisi pasien berubah selama ditransfer (misalnya, pasien meninggal atau membutuhkan resusitasi).

Dokumen lain yang diminta sesuai dengan kebijakan rumah sakit (misalnya, tanda tangan perawat atau dokter yang menerima serta nama orang yang memonitor pasien dalam perjalanan rujukan) masuk dalam catatan. Dokumen rujukan diberikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan penerima bersama dengan pasien. Catatan setiap pasien yang dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya memuat juga dokumentasi selama proses rujukan.

Jika proses rujukan menggunakan transportasi dan tenaga pendamping dari pihak ketiga, rumah sakit memastikan ketersediaan kebutuhan pasien selama perjalanan dan melakukan serah terima dengan petugas tersebut.

20. Elemen Penilaian AKP 5.6

  1. Dokumen rujukan berisi nama dari fasilitas pelayanan kesehatan yang menerima dan nama orang yang menyetujui menerima pasien.
  2. Dokumen rujukan berisi alasan pasien dirujuk, memuat kondisi pasien, dan kebutuhan pelayanan lebih lanjut.
  3. Dokumen rujukan juga memuat prosedur dan intervensi yang sudah dilakukan.
  4. Proses rujukan dievaluasi dalam aspek mutu dan keselamatan pasien.

21. Standar AKP 5.7

Untuk pasien rawat jalan yang membutuhkan asuhan yang kompleks atau diagnosis yang kompleks dibuat catatan tersendiri profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) dan tersedia untuk PPA.

22. Maksud dan Tujuan AKP 5.7

Jika rumah sakit memberikan asuhan dan tindakan berlanjut kepada pasien dengan diagnosis kompleks dan atau yang membutuhkan asuhan kompleks (misalnya pasien yang datang beberapa kali dengan masalah kompleks, menjalani tindakan beberapa kali, datang di beberapa unit klinis, dan sebagainya) maka kemungkinan dapat bertambahnya diagnosis dan obat, perkembangan riwayat penyakit, serta temuan pada pemeriksaan fisis. Oleh karena itu, untuk kasus seperti ini harus dibuat ringkasannya. Sangat penting bagi setiap PPA yang berada di berbagai unit yang memberikan asuhan kepada pasien ini mendapat akses ke informasi profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) tersebut.

Profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) memuat informasi, termasuk:

  1. Identifikasi pasien yang menerima asuhan kompleks atau dengan diagnosis kompleks (seperti pasien di klinis jantung dengan berbagai komorbiditas antara lain DM tipe 2, total knee replacement, gagal ginjal tahap akhir, dan sebagainya. Atau pasien di klinis neurologik dengan berbagai komorbiditas).
  2. Identifikasi informasi yang dibutuhkan oleh para dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang menangani pasien tersebut
  3. Menentukan proses yang digunakan untuk memastikan bahwa informasi medis yang dibutuhkan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tersedia dalam format mudah ditelusur (easy-to-retrieve) dan mudah direvieu.
  4. Evaluasi hasil implementasi proses untuk mengkaji bahwa informasi dan proses memenuhi kebutuhan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan meningkatkan mutu serta keselamatan pasien.

23. Elemen Penilaian AKP 5.7

  1. Rumah sakit telah menetapkan kriteria pasien rawat jalan dengan asuhan yang kompleks atau yang diagnosisnya kompleks diperlukan Profil Ringkas Medis Rawat Jalan (PRMRJ) meliputi poin a-d dalam maksud tujuan.
  2. Rumah sakit memiliki proses yang dapat dibuktikan bahwa PRMRJ mudah ditelusur dan mudah di-review.
  3. Proses tersebut dievaluasi untuk memenuhi kebutuhan para DPJP dan meningkatkan mutu serta keselamatan pasien.

f. Transportasi

1. Standar AKP 6

Rumah sakit menetapkan proses transportasi dalam merujuk, memindahkan atau pemulangan, pasien rawat inap dan rawat jalan utk memenuhi kebutuhan pasien.

2. Maksud dan Tujuan AKP 6

Proses merujuk, memindahkan, dan memulangkan pasien membutuhkan pemahaman tentang kebutuhan transpor pasien. Jenis kendaraan untuk transportasi berbagai macam, mungkin ambulans atau kendaraan lain milik rumah sakit atau berasal dari sumber yang diatur oleh keluarga atau kerabat. Jenis kendaraan yang diperlukanvbergantung pada kondisi dan status pasien. Kendaraan transportasi milik rumah sakit harus tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur tentang kegiatan operasionalnya, kondisi, dan perawatan kendaraan. Rumah sakit mengidentifikasi kegiatan transportasi yang berisiko terkena infeksi dan menentukan strategi mengurangi risiko infeksi. Persediaan obat dan perbekalan medis yang harus tersedia dalam kendaraan bergantung pada pasien yang dibawa. Jika rumah sakit membuat kontrak layanan transportasi maka rumah sakit harus dapat menjamin bahwa kontraktor harus memenuhi standar untuk mutu dan keselamatan pasien dan kendaraan. Jika layanan transpor diberikan oleh Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan, perusahaan asuransi, atau organisasi lain yang tidak berada dalam pengawasan rumah sakit maka masukan dari rumah sakit tentang keselamatan dan mutu transpor dapat memperbaiki kinerja penyedia pelayanan transpor. Dalam semua hal, rumah sakit melakukan evaluasi terhadap mutu dan keselamatan pelayanan transportasi. Hal ini termasuk penerimaan, evaluasi, dan tindak lanjut keluhan terkait pelayanan transportasi.

3. Elemen Penilaian AKP 6

  1. Rumah sakit memiliki proses transportasi pasien sesuai dengan kebutuhannya yang meliputi pengkajian kebutuhan transportasi, SDM, obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan, peralatan medis dan persyaratan PPI yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
  2. Bila rumah sakit memiliki kendaraan transport sendiri, ada bukti pemeliharan kendaraan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Bila rumah sakit bekerja sama dengan jasa transportasi pasien mandiri, ada bukti kerja sama tersebut dan evaluasi berkala dari rumah sakit mengenai kelayakan kendaraan transportasi, memenuhi aspek mutu, keselamatan pasien dan keselamatan transportasi.
  4. Kriteria alat transportasi yang digunakan untuk merujuk, memindahkan, atau memulangkan pasien ditentukan oleh rumah sakit (staf yang kompeten), harus sesuai dengan Program PPI, memenuhi aspek mutu, keselamatan pasien dan keselamatan transportasi.

2. Hak Pasien dan Keterlibatan Keluarga (HPK)

Gambaran Umum

Hak pasien dalam pelayanan kesehatan dilindungi oleh undang- undang. Dalam memberikan pelayanan, rumah sakit menjamin hak pasien yang dilindungi oleh peraturan perundangan tersebut dengan mengupayakan agar pasien mendapatkan haknya di rumah sakit.

Dalam memberikan hak pasien, rumah sakit harus memahami bahwa pasien dan keluarganya memiliki sikap, perilaku, kebutuhan pribadi, agama, keyakinan, budaya dan nilai-nilai yang dianut.

Hasil pelayanan pada pasien akan meningkat bila pasien dan keluarga atau mereka yang berhak mengambil keputusan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan pelayanan dan proses yang sesuai dengan harapan, nilai, serta budaya yang dimiliki. Pendidikan pasien dan keluarga membantu pasien lebih memahami dan berpartisipasi dalam perawatan mereka untuk membuat keputusan perawatan yang lebih baik.

Standar ini akan membahas proses-proses untuk:

  1. Mengidentifikasi, melindungi, dan mempromosikan hak-hak pasien;
  2. Menginformasikan pasien tentang hak-hak mereka;
  3. Melibatkan keluarga pasien, bila perlu, dalam keputusan tentang perawatan pasien;
  4. Mendapatkan persetujuan (informed consent); dan
  5. Mendidik staf tentang hak pasien.

Proses-proses ini terkait dengan bagaimana sebuah organisasi menyediakan perawatan kesehatan dengan cara yang adil dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Lebih lanjut, standar Hak Pasien dan Keterlibatan Keluarga akan berfokus pada:

  1. Hak pasien dan keluarga; dan
  2. Permintaan persetujuan pasien.

a. Hak pasien dan keluarga

1. Standar HPK 1

Rumah sakit menerapkan proses yang mendukung hak-hak pasien dan keluarganya selama pasien mendapatkan pelayanan dan perawatan di rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan HPK 1

Pimpinan rumah sakit harus mengetahui dan memahami hak-hak pasien dan keluarganya serta tanggung jawab organisasi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan. Pimpinan memberikan arahan untuk memastikan bahwa seluruh staf ikut berperan aktif dalam melindungi hak pasien tersebut.

Hak pasien dan keluarga merupakan unsur dasar dari seluruh hubungan antara organisasi, staf, pasien dan keluarga. Rumah sakit menggunakan proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur, dan apabila diperlukan, melibatkan para pasien dan keluarganya selama proses tersebut.

Sering kali, pasien ingin agar keluarga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan mereka. Pasien memiliki hak untuk mengidentifikasi siapa yang mereka anggap sebagai keluarga dan diizinkan untuk melibatkan orang-orang tersebut dalam perawatan. Agar keluarga dapat berpartisipasi, mereka harus diizinkan hadir. Pasien diberi kesempatan untuk memutuskan apakah mereka ingin keluarga ikut terlibat dan sejauh mana keluarga akan terlibat dalam perawatan pasien, informasi apa mengenai perawatan yang dapat diberikan kepada keluarga/pihak lain, serta dalam keadaan apa.

3. Elemen Penilaian HPK 1

  1. Rumah sakit menerapkan regulasi hak pasien dan keluarga sebagaimana tercantum dalam poin a) – d) pada gambaran umum dan peraturan perundang- undangan.
  2. Rumah sakit memiliki proses untuk mengidentifikasi siapa yang diinginkan pasien untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatannya.
  3. Rumah sakit memiliki proses untuk menentukan preferensi pasien, dan pada beberapa keadaan preferensi keluarga pasien, dalam menentukan informasi apa mengenai perawatan pasien yang dapat diberikan kepada keluarga/pihak lain, dan dalam situasi apa.
  4. Semua staff dilatih tentang proses dan peran mereka dalam mendukung hak-hak serta partisipasi pasien dan keluarga dalam perawatan.

4. Standar HPK 1.1

Rumah sakit berupaya mengurangi hambatan fisik, bahasa, budaya, dan hambatan lainnya dalam mengakses dan memberikan layanan serta memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga dalam bahasa dan cara yang dapat mereka pahami.

5. Maksud dan Tujuan HPK 1.1

Rumah sakit mengidentifikasi hambatan, menerapkan proses untuk menghilangkan atau mengurangi hambatan, dan mengambil tindakan untuk mengurangi dampak hambatan bagi pasien yang memerlukan pelayanan dan perawatan. Sebagai contoh: tersedia akses yang aman ke unit perawatan/pelayanan, tersedia rambu-rambu disabilitas dan rambu-rambu lain seperti penunjuk arah atau alur evakuasi yang mencakup penggunaan rambu multi bahasa dan/atau simbol internasional, dan disediakan penerjemah yang dapat digunakan untuk pasien dengan kendala bahasa.

Rumah sakit menyiapkan pernyataan tertulis tentang hak dan tanggung jawab pasien dan keluarga yang tersedia bagi pasien ketika mereka dirawat inap atau terdaftar sebagai pasien rawat jalan. Pernyataan tersebut terpampang di area rumah sakit atau dalam bentuk brosur atau dalam metode lain seperti pemberian informasi staf pada saat diperlukan. Pernyataan tersebut sesuai dengan usia, pemahaman, bahasa dan cara yang dipahami pasien.

6. Elemen Penilaian HPK 1.1

  1. Rumah mengidentifikasi hambatan serta menerapkan proses untuk mengurangi hambatan bagi pasien dalam mendapatkan akses, proses penerimaan dan pelayanan perawatan.
  2. Informasi terkait aspek perawatan dan tata laksana medis pasien diberikan dengan cara dan bahasa yang dipahami pasien.
  3. Informasi mengenai hak dan tanggung jawab pasien terpampang di area rumah sakit atau diberikan kepada setiap pasien secara tertulis atau dalam metode lain dalam bahasa yang dipahami pasien.

7. Standar HPK 1.2

Rumah sakit memberikan pelayanan yang menghargai martabat pasien, menghormati nilai-nilai dan kepercayaan pribadi pasien serta menanggapi permintaan yang terkait dengan keyakinan agama dan spiritual.

8. Maksud dan Tujuan HPK 1.2

Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting adalah keinginan untuk dihargai dan memiliki martabat. Pasien memiliki hak untuk dirawat dengan penuh rasa hormat dan tenggang rasa, dalam berbagai keadaan, serta perawatan yang menjaga harkat dan martabat pasien.

Setiap pasien membawa nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing ke dalam proses perawatan. Sebagian nilai dan kepercayaan yang umumnya dimiliki oleh semua pasien sering kali berasal dari budaya atau agamanya.

Nilai-nilai dan kepercayaan lainnya dapat berasal dari diri pasien itu sendiri. Semua pasien dapat menjalankan kepercayaannya masing-masing dengan cara yang menghormati kepercayaan orang lain. Semua staf harus berusaha memahami perawatan dan pelayanan yang mereka berikan dalam konteks dari nilai-nilai dan kepercayaan pasien.

9. Elemen Penilaian HPK 1.2

  1. Staf memberikan perawatan yang penuh penghargaan dengan memerhatikan harkat dan martabat pasien.
  2. Rumah sakit menghormati keyakinan spiritual dan budaya pasien serta nilai-nilai yang dianut pasien.
  3. Rumah sakit memenuhi kebutuhan pasien terhadap bimbingan rohani.

10. Standar HPK 1.3

Rumah sakit menjaga privasi pasien dan kerahasiaan informasi dalam perawatan, serta memberikan hak kepada pasien untuk memperoleh akses dalam informasi kesehatan mereka sesuai perundang-undangan yang berlaku.

11. Maksud dan Tujuan HPK 1.3

Hak privasi pasien, terutama ketika diwawancara, diperiksa, dirawat dan dipindahkan adalah hal yang sangat penting. Pasien mungkin menginginkan privasinya terlindung dari para karyawan, pasien lain, dan bahkan dari anggota keluarga atau orang lain yang ditentukan oleh pasien. Oleh karena itu staf rumah sakit yang melayani dan merawat pasien harus menanyakan tentang kebutuhan privasi pasien dan harapan yang terkait dengan pelayanan yang dimaksud serta meminta persetujuan terhadap pelepasan informasi medik yang diperlukan.

Informasi medis serta informasi kesehatan lainnya yang didokumentasikan dan dikumpulkan harus dijaga kerahasiannya. Rumah sakit menghargai kerahasiaan informasi tersebut dan menerapkan prosedur yang melindungi informasi tersebut dari kehilangan atau penyalahgunaan. Kebijakan dan prosedur mencakup informasi yang dapat diberikan sesuai ketentuan peraturan dan undang-undang lainnya.

Pasien juga memiliki hak untuk mengakses informasi kesehatan mereka sendiri. Ketika mereka memiliki akses terhadap informasi kesehatan mereka, pasien dapat lebih terlibat di dalam keputusan perawatan dan membuat keputusan yang lebih baik tentang perawatan mereka.

12. Elemen Penilaian HPK 1.3

  1. Rumah sakit menjamin kebutuhan privasi pasien selama perawatan dan pengobatan di rumah sakit.
  2. Kerahasiaan informasi pasien dijaga sesuai dengan peraturan perundangan.
  3. Rumah sakit memiliki proses untuk meminta persetujuan pasien terkait pemberian informasi.
  4. Rumah sakit memiliki proses untuk memberikan pasien akses terhadap informasi kesehatan mereka.

13. Standar HPK 1.4

Rumah sakit melindungi harta benda pasien dari pencurian atau kehilangan.

14. Maksud dan Tujuan HPK 1.4

Rumah sakit bertanggung jawab melindungi terhadap harta benda pasien dari pencurian atau kehilangan. Terdapat proses untuk mencatat dan membuat daftar harta benda yang dibawa pasien dan memastikan agar harta benda tersebut tidak dicuri atau hilang. Proses ini dilakukan di ODC (Pelayanan Satu Hari), pasien rawat inap, serta untuk pasien yang tidak mampu mengambil keputusan untuk menjaga keamanan harta benda mereka karena tidak sadarkan diri atau tidak didampingi penunggu.

15. Elemen Penilaian HPK 1.4

  1. Rumah sakit menetapkan proses untuk mencatat dan melindungi pertanggungjawaban harta benda pasien.
  2. Pasien mendapat informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit untuk melindungi harta benda pribadi mereka.

16. Standar HPK 1.5

Rumah sakit melindungi pasien dari serangan fisik dan verbal, dan populasi yang berisiko diidentifikasi serta dilindungi dari kerentanan.

17. Maksud dan Tujuan HPK 1.5

Rumah sakit bertanggung jawab untuk melindungi pasien dari penganiayaan fisik dan verbal yang dilakukan pengunjung, pasien lain, dan petugas. Tanggung jawab ini sangat penting terutama bagi bayi dan anak-anak, lansia, dan kelompok yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Rumah sakit berupaya mencegah penganiayaan melalui berbagai proses seperti memeriksa orang-orang yang berada dilokasi tanpa identifikasi yang jelas, memantau wilayah yang terpencil atau terisolasi, dan cepat tanggap dalam membantu mereka yang berada dalam bahaya atau dianiaya.

18. Elemen Penilaian HPK 1.5

  1. Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan proses untuk melindungi semua pasien dari serangan fisik dan verbal.
  2. Rumah sakit mengidentifikasi populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami serangan.
  3. Rumah sakit memantau area fasilitas yang terisolasi dan terpencil.

19. Standar HPK 2

Pasien dan keluarga pasien dilibatkan dalam semua aspek perawatan dan tata laksana medis melalui edukasi, dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai perawatan serta tata laksananya.

20. Maksud dan Tujuan HPK 2

Pasien dan keluarganya ikut berperan serta dalam proses asuhan dengan membuat keputusan mengenai perawatan, mengajukan pertanyaan tentang perawatan, dan bahkan menolak prosedur diagnostik dan tata laksana. Agar pasien dan keluarga dapat berpartisipasi dalam keputusan perawatan, mereka memerlukan informasi mengenai kondisi medis, hasil pemeriksaan, diagnosis, rencana pengobatan dan rencana tindakan serta perawatan, dan alternatif tindakan bila ada. Rumah sakit memastikan mereka dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan termasuk untuk melakukan perawatan sendiri di rumah.

Selama proses asuhan, pasien juga memiliki hak untuk diberitahu mengenai kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi dari terapi dan perawatan, serta ketika suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terduga terjadi selama perawatan dilakukan.

Pasien dan keluarga pasien memahami jenis keputusan yang harus diambil terkait asuhan dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tersebut. Ketika pasien meminta pendapat kedua, rumah sakit tidak boleh menghambat, mencegah ataupun menghalangi upaya pasien yang mencari pendapat kedua, namun sebaliknya, rumah sakit harus memfasilitasi permintaan akan pendapat kedua tersebut dan membantu menyediakan informasi mengenai kondisi pasien, seperti informasi hasil pemeriksaan, diagnosis, rekomendasi terapi, dan sebagainya.

Rumah sakit mendukung dan menganjurkan keterlibatan pasien dan keluarga dalam semua aspek perawatan. Seluruh staf diajarkan mengenai kebijakan dan prosedur serta peranan mereka dalam mendukung hak pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam proses perawatan.

21. Elemen Penilaian HPK 2

  1. Rumah sakit menerapkan proses untuk mendukung pasien dan keluarga terlibat dan berpartisipasi dalam proses asuhan dan dalam pengambilan keputusan.
  2. Rumah sakit menerapkan proses untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai kondisi medis, diagnosis, serta rencana perawatan dan terapi yang diberikan.
  3. Pasien diberikan informasi mengenai hasil asuhan dan tata laksana yang diharapkan.
  4. Pasien diberikan informasi mengenai kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi dari terapi dan perawatan.
  5. Rumah sakit memfasilitasi permintaan pasien untuk mencari pendapat kedua tanpa perlu khawatir akan mempengaruhi perawatannya selama di dalam atau luar rumah sakit.

22. Standar HPK 2.1

Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai hak dan kewajibannya untuk menolak atau menghentikan terapi, menolak diberikan pelayanan resusitasi, serta melepaskan atau menghentikan terapi penunjang kehidupan.

23. Maksud dan Tujuan HPK 2.1

Pasien atau keluarga yang mengambil keputusan atas nama pasien, dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana perawatan atau terapi ataupun menghentikan perawatan atau terapi setelah proses tersebut dimulai.

Salah satu keputusan yang paling sulit untuk pasien dan keluarga dan juga untuk staf RS adalah keputusan untuk menghentikan layanan resusitasi atau perawatan yang menunjang kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi rumah sakit untuk mengembangkan sebuah proses dalam pengambilan keputusan-keputusan sulit.

Untuk memastikan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan keinginan pasien dilakukan secara konsisten, rumah sakit mengembangkan proses yang melibatkan berbagai profesional dan sudut pandang dalam proses pengembangannya. Proses tersebut mencakup pemberian informasi secara jelas dan lengkap mengenai kondisi pasien, konsekuensi dari keputusan yang diambil, serta pilihan atau alternatif lain yang dapat di jadikan pertimbangan. Selain itu, proses tersebut mengidentifikasi garis akuntabilitas serta bagaimana proses tersebut dapat di integrasikan di dalam rekam medis pasien.

24. Elemen Penilaian HPK 2.1

  1. Rumah sakit menerapkan proses mengenai pemberian pelayanan resusitasi dan penghentian terapi penunjang kehidupan untuk pasien.
  2. Rumah sakit memberi informasi kepada pasien dan keluarga mengenai hak mereka untuk menolak atau menghentikan terapi, konsekuensi dari keputusan yang dibuat serta terapi dan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihan.

25. Standar HPK 2.2

Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapat pengkajian dan tata laksana nyeri serta perawatan yang penuh kasih menjelang akhir hayatnya.

26. Maksud dan Tujuan HPK 2.2

Nyeri adalah hal yang sering dialami pasien di dalam proses perawatan. Pasien merespons rasa nyeri sesuai dengan nilai, tradisi, budaya serta agama yang dianut. Nyeri yang tidak dapat diatasi dapat memiliki efek fisiologis yang negatif. Oleh karena itu, pasien perlu didukung dan diberi edukasi agar melaporkan nyeri yang mereka rasakan.

Menjelang akhir hayat, pasien memiliki kebutuhan khas yang juga dapat dipengaruhi oleh tradisi budaya dan agama. Perhatian terhadap kenyamanan dan martabat pasien memandu semua aspek perawatan di akhir hayat mereka. Untuk memberikan perawatan yang terbaik pada pasien yang sedang memasuki fase menjelang akhir hayat, semua staf harus rumah sakit menyadari kebutuhan yang unik dan spesifik dari seorang pasien di akhir hayatnya.

Kebutuhan-kebutuhan unik tersebut meliputi tata laksana terhadap keluhan utama dan keluhan tambahan; tata laksana nyeri; tanggapan terhadap kekhawatiran psikologis, sosial, emosional, agama, dan kultural pasien serta keluarganya serta keterlibatan dalam keputusan perawatan. Proses perawatan yang diberikan rumah sakit harus menjunjung tinggi dan mencerminkan hak dari semua pasien untuk mendapatkan pengkajian dan tata laksana nyeri serta pengkajian dan pengelolaan kebutuhan pasien yang unik dan spesifik di akhir hayatnya.

27. Elemen Penilaian HPK 2.2

  1. Rumah sakit menerapkan proses untuk menghargai dan mendukung hak pasien mendapatkan pengkajian dan pengelolaan nyeri.
  2. Rumah sakit menerapkan proses untuk menghargai dan mendukung hak pasien untuk mendapatkan pengkajian dan pengelolaan terhadap kebutuhan pasien menjelang akhir hayat.

28. Standar HPK 3

Rumah sakit memberitahu pasien dan keluarganya mengenai proses untuk menerima dan menanggapi keluhan, tindakan rumah sakit bila terdapat konflik/perbedaan pendapat di dalam asuhan pasien, serta hak pasien untuk berperan dalam semua proses ini.

29. Maksud dan Tujuan HPK 3

Pasien memiliki hak untuk menyampaikan keluhan tentang asuhan mereka dan keluhan tersebut harus ditanggapi dan diselesaikan. Di samping itu, keputusan terkait perawatan kadang kala menimbulkan pertanyaan, konflik atau dilema lain bagi rumah sakit, pasien dan keluarga atau pengambil keputusan lain. Dilema ini mungkin timbul sejak pasien mengakses pelayanan, selama menjalani masa perawatan, dan pada proses pemulangan. Rumah sakit menetapkan penanggung jawab dan proses untuk menyelesaikan keluhan tersebut.

Rumah sakit mengidentifikasi kebijakan dan prosedur bagi mereka yang perlu dilibatkan dalam menyelesaikan keluhan dan bagaimana pasien dan keluarganya dapat ikut berperan serta.

30. Elemen Penilaian HPK 3

  1. Pasien diberikan informasi mengenai proses untuk menyampaikan keluhan dan proses yang harus dilakukan pada saat terjadi konflik/perbedaan pendapat pada proses perawatan.
  2. Keluhan, konflik, dan perbedaan pendapat tersebut dikaji dan diselesaikan oleh unit/petugas yang bertanggung jawab melalui sebuah alur/proses spesifik.
  3. Pasien dan keluarga berpartisipasi dalam proses penyelesaian keluhan, konflik, dan perbedaan pendapat.

b. Permintaan persetujuan pasien

1. Standar HPK 4

Rumah sakit menetapkan batasan yang jelas untuk persetujuan umum yang diperoleh pasien pada saat akan menjalani rawat inap atau didaftarkan pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan.

2. Maksud dan Tujuan HPK 4

Rumah sakit meminta persetujuan umum untuk pengobatan ketika pasien di terima rawat inap di rumah sakit atau ketika pasien didaftarkan untuk pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan. Pada saat persetujuan umum itu diperoleh, pasien telah diberi informasi mengenai lingkup persetujuan umum tersebut. Selanjutnya, rumah sakit menentukan bagaimana persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

Selain general consent (persetujuan umum), semua pasien diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan dan pengobatan di mana informed consent (persetujuan tindakan) terpisah akan dibuat. Selain itu, pasien juga harus menerima informasi mengenai kemungkinan adanya peserta didik, seperti peserta didik perawat, peserta didik fisioterapi, mahasiswa kedokteran, dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis/trainee/fellowship, serta peserta didik lainnyayang terlibat dalam proses asuhan.

3. Elemen Penilaian HPK 4

  1. Rumah sakit menerapkan proses bagaimana persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
  2. Pasien dan keluarga diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan dan pengobatan yang memerlukan informed consent.
  3. Pasien menerima informasi mengenai kemungkinan keterlibatan peserta didik, mahasiswa, residen traine dan fellow yang berpartisipasi dalam proses perawatan.

4. Standar HPK 4.1

Persetujuan tindakan (informed consent) pasien diperoleh melalui cara yang telah ditetapkan rumah sakit dan dilaksanakan oleh petugas terlatih dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami pasien.

5. Maksud dan Tujuan HPK 4.1

Salah satu proses penting di mana pasien dapat terlibat dalam pengambilan keputusan tentang perawatan mereka adalah dengan memberikan informed consent. Untuk memberikan persetujuan ini, pasien harus di informasikan terlebih dahulu mengenai faktor-faktor yang terkait dengan rencana perawatan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Proses persetujuan harus didefinisikan secara jelas oleh rumah sakit dalam kebijakan dan prosedur sesuai perundang-udangan yang berlaku.

Pasien dan keluarga diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan, dan pengobatan mana yang memerlukan persetujuan dan bagaimana mereka dapat memberikan persetujuan. Edukasi diberikan oleh staf rumah sakit yang kompeten dan merupakian bagian dari proses untuk mendapatkan informed consent (sebagai contoh, untuk pembedahan dan anestesi).

Jika perawatan yang direncanakan meliputi prosedur pembedahan atau tindakan invasif, anestesi, sedasi, penggunaan darah dan produk darah, perawatan atau tindakan berisiko tinggi, maka diperlukan persetujuan tindakan secara terpisah. Rumah sakit mengidentifikasi perawatan dan prosedur berisiko tinggiatau prosedur dan perawatan lainnya yang membutuhkan persetujuan. Rumah sakit membuat daftar perawatan dan prosedur ini serta mengedukasi petugas untuk memastikan bahwa proses untuk memperoleh persetujuan itu harus diterapkan secara konsisten. Daftar tersebut dikembangkan bersama- sama oleh para dokter dan orang lain yang memberikan perawatan atau melakukan tindakan. Daftar ini meliputi semua tindakan dan perawatan yang disiapkan bagi pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.

6. Elemen Penilaian HPK 4.1

  1. Rumah sakit menerapkan proses bagi pasien untuk mendapatkan informed consent.
  2. Pemberian informed consent dilakukan oleh staf yang kompeten dan diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami pasien.
  3. Rumah sakit memiliki daftar tindakan invasif, pemeriksaan dan terapi tambahan yang memerlukaninformed consent.

7. Standar HPK 4.2

Rumah sakit menerapkan proses untuk pemberian persetujuan oleh orang lain, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

8. Maksud dan Tujuan HPK 4.2

Ada kalanya terdapat kondisi dimana orang lain selain pasien (baik sendiri maupun bersama pasien) ikut terlibat dalam keputusan mengenai perawatan pasien dalam proses pemberian informed consent untuk perawatan. Hal ini terutama berlaku ketika pasien tidak memiliki kemampuan mental atau fisik untuk mengambil keputusan tentang perawatannya sendiri, ketika latar belakang budaya atau kebiasaan mengharuskan orang lain yang mengambil keputusan tentang perawatan atau ketika pasien masih kanak-kanak. Ketika pasien tidak dapat membuat keputusan tentang perawatannya, maka ditentukan perwakilan untuk mengambil keputusan tersebut. Ketika ada orang lain selain pasien itu yang memberi persetujuan, nama individu itu dicatat dalam rekam medis pasien.

9. Elemen Penilaian HPK 4.2

  1. Rumah sakit menerapkan proses untuk pemberian informed consent oleh orang lain selain pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
  2. Rekam medis pasien mencantumkan (satu atau lebih) nama individu yang menyatakan persetujuan.

3. Pengkajian Pasien (PP)

Gambaran Umum

Tujuan dari pengkajian adalah untuk menentukan perawatan, pengobatan dan pelayanan yang akan memenuhi kebutuhan awal dan kebutuhan berkelanjutan pasien. Pengkajian pasien merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis yang berlangsung di layanan rawat jalan serta rawat inap. Pengkajian pasien terdiri atas tiga proses utama:

  1. Mengumpulkan informasi dan data terkait keadaan fisik, psikologis, status sosial, dan riwayat kesehatan pasien.
  2. Menganalisis data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium, pencitraan diagnostik, dan pemantauan fisiologis, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien akan layanan kesehatan.
  3. Membuat rencana perawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang telah teridentifikasi.

Pengkajian pasien yang efektif akan menghasilkan keputusan tentang kebutuhan asuhan, tata laksana pasien yang harus segera dilakukan dan pengobatan berkelanjutan untuk emergensi atau elektif/terencana, bahkan ketika kondisi pasien berubah.

Asuhan pasien di rumah sakit diberikan dan dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan berfokus pada pasien (Patient/Person Centered Care) Pola ini dipayungi oleh konsep WHO dalam Conceptual framework integrated people-centred health services. Penerapan konsep pelayanan berfokus pada pasien adalah dalam bentuk Asuhan Pasien Terintegrasi yang bersifat integrasi horizontal dan vertikal dengan elemen:

  1. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai ketua tim asuhan/Clinical Leader;
  2. Profesional Pemberi Asuhan bekerja sebagai tim intra dan interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional, dibantu antara lain dengan Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan PPA lainnya, Alur Klinis/Clinical Pathway terintegrasi, Algoritma, Protokol, Prosedur, Standing Order dan CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi);
  3. Manajer Pelayanan Pasien/Case Manager; dan
  4. Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga.

Pengkajian ulang harus dilakukan selama asuhan, pengobatan dan pelayanan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien. Pengkajian ulang adalah penting untuk memahami respons pasien terhadap pemberian asuhan, pengobatan dan pelayanan, serta juga penting untuk menentukan apakah keputusan asuhan memadai dan efektif. Proses-proses ini paling efektif dilaksanakan bila berbagai profesional kesehatan yang bertanggung jawab atas pasien bekerja sama.

Standar Pengkajian Pasien ini berfokus kepada:

  1. Pengkajian awal pasien;
  2. Pengkajian ulang pasien;
  3. Pelayanan laboratorium dan pelayanan darah; dan
  4. Pelayanan radiologi klinik.

a. Pengkajian awal pasien

1. Standar PP 1

Semua pasien yang dirawat di rumah sakit diidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatannya melalui suatu proses pengkajian yang telah ditetapkan oleh rumah sakit.

2. Standar PP 1.1

Kebutuhan medis dan keperawatan pasien diidentifikasi berdasarkan pengkajian awal.

3. Standar PP 1.2

Pasien dilakukan skrining risiko nutrisi, skrining nyeri, kebutuhan fungsional termasuk risiko jatuh dan kebutuhan khusus lainnya

4. Maksud dan Tujuan PP1, PP 1.1 dan PP 1.2

Proses pengkajian pasien yang efektif menghasilkan keputusan tentang kebutuhan pasien untuk mendapatkan tata laksana segera dan berkesinambungan untuk pelayanan gawat darurat, elektif atau terencana, bahkan ketika kondisi pasien mengalami perubahan. Pengkajian pasien adalah sebuah proses berkesinambungan dan dinamis yang dilakukan di unit gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan serta unit lainnya. Pengkajian pasien terdiri dari tiga proses primer:

  1. Pengumpulan informasi dan data mengenai kondisi fisik, psikologis, dan status sosial serta riwayat kesehatan pasien sebelumnya.
  2. Analisis data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium dan uji diagnostik pencitraan, untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan pasien.
  3. Pengembangan rencana perawatan pasien untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi.

Pengkajian disesuaikan dengan kebutuhan pasien, sebagai contoh, rawat inap atau rawat jalan. Bagaimana pengkajian ini dilakukan dan informasi apa yang perlu dikumpulkan serta didokumentasikan ditetapkan dalam kebijakan dan prosedur rumah sakit. Isi minimal pengkajian awal antara lain:

  1. Keluhan saat ini
  2. Status fisik;
  3. Psiko-sosio-spiritual;
  4. Ekonomi;
  5. Riwayat kesehatan pasien;
  6. Riwayat alergi;
  7. Riwayat penggunaan obat;
  8. Pengkajian nyeri;
  9. Risiko jatuh;
  10. Pengkajian fungsional;
  11. Risiko nutrisional;
  12. Kebutuhan edukasi; dan
  13. Perencanaan pemulangan pasien (Discharge Planning). Pada kelompok pasien tertentu, misalnya dengan risiko jatuh, nyeri dan status nutrisi maka dilakukan skrining sebagai bagian dari pengkajian awal, kemudian dilanjutkan dengan pengkajian lanjutan.

Agar pengkajian kebutuhan pasien dilakukan secara konsisten, rumah sakit harus mendefinisikan dalam kebijakan, isi minimum dari pengkajian yang dilakukan oleh para dokter, perawat, dan disiplin klinis lainnya. Pengkajian dilakukan oleh setiap disiplin dalam ruang lingkup praktiknya, perizinan, perundangundangan. Hanya PPA yang kompeten dan di izinkan oleh rumah sakit yang akan melakukan pengkajian.

Rumah sakit mendefinisikan elemen-elemen yang akan digunakan pada seluruh pengkajian dan mendefinisikan perbedaan-perbedaan yang ada terutama dalam ruang lingkup kedokteran umum dan layanan spesialis. Pengkajian yang didefinisikan dalam kebijakan dapat dilengkapi oleh lebih dari satu individu yang kompeten dan dilakukan pada beberapa waktu yang berbeda. Semua pengkajian tersebut harus sudah terisi lengkap dan memiliki informasi terkini (kurang dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari) pada saat tata laksana dimulai.

5. Elemen Penilaian PP 1

  1. Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pengkajian awal dan pengkajian ulang medis dan keperawatan di unit gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan.
  2. Rumah sakit menetapkan isi minimal pengkajian awal meliputi poin a) – l) pada maksud dan tujuan.
  3. Hanya PPA yang kompeten, diperbolehkan untuk melakukan pengkajian sesuai dengan ketentuan rumah sakit.
  4. Perencanaanan pulang yang mencakup identifikasi kebutuhan khusus dan rencana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, disusun sejak pengkajian awal.

6. Elemen Penilaian PP 1.1

  1. Pengkajian awal medis dan keperawatandilaksanakan dan didokumentasikan dalam kurun waktu 24 jam pertama sejak pasien masuk rawat inap, atau lebih awal bila diperlukan sesuai dengan kondisi pasien.
  2. Pengkajian awal medis menghasilkan diagnosis medis yang mencakup kondisi utama dan kondisi lainnya yang membutuhkan tata laksana dan pemantauan.
  3. Pengkajian awal keperawatan menghasilkan diagnosis keperawatan untuk menentukan kebutuhan asuhan keperawatan, intervensi atau pemantauan pasien yang spesifik.
  4. Sebelum pembedahan pada kondisi mendesak, minimal terdapat catatan singkat dan diagnosis praoperasi yang didokumentasikan di dalam rekam medik.
  5. Pengkajian medis yang dilakukan sebelum masuk rawat inap atau sebelum pasien menjalani prosedur di layanan rawat jalan rumah sakit harus dilakukan dalam waktu kurang atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari sebelumnya. Jika lebih dari 30 (tiga puluh) hari, maka harus dilakukan pengkajian ulang.
  6. Hasil dari seluruh pengkajian yang dikerjakan di luar rumah sakit ditinjau dan/atau diverifikasi pada saat masuk rawat inap atau sebelum tindakan di unit rawat jalan.

7. Elemen Penilaian PP 1.2

  1. Rumah sakit menetapkan kriteria risiko nutrisional yang dikembangkan bersama staf yang kompeten dan berwenang.
  2. Pasien diskrining untuk risiko nutrisi sebagai bagian dari pengkajian awal.
  3. Pasien dengan risiko nutrisional dilanjutkan dengan pengkajian gizi.
  4. Pasien diskrining untuk kebutuhan fungsional termasuk risiko jatuh.

8. Standar PP 1.3

Rumah sakit melakukan pengkajian awal yang telah dimodifikasi untuk populasi khusus yang dirawat di rumah sakit.

9. Maksud dan Tujuan PP 1.3

Pengkajian tambahan untuk pasien tertentu atau untuk populasi pasien khusus mengharuskan proses pengkajian tambahan sesuai dengan kebutuhan populasi pasien tertentu. Setiap rumah sakit menentukan kelompok populasi pasien khusus dan menyesuaikan proses pengkajian untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka. Pengkajian tambahan dilakukan antara lain namun tidak terbatas untuk:

  1. Neonatus.
  2. Anak.
  3. Remaja.
  4. Obsteri / maternitas.
  5. Geriatri.
  6. Sakit terminal / menghadapi kematian.
  7. Pasien dengan nyeri kronik atau nyeri (intense).
    1. Pasien dengan gangguan emosional atau pasien psikiatris.
  8. Pasien kecanduan obat terlarang atau alkohol.
  9. Korban kekerasan atau kesewenangan.
  10. Pasien dengan penyakit menular atau infeksius.
  11. Pasien yang menerima kemoterapi atau terapi radiasi.
  12. Pasien dengan sistem imunologi terganggu.

Tambahan pengkajian terhadap pasien ini memperhatikan kebutuhan dan kondisi mereka berdasarkan budaya dan nilai yang dianut pasien. Proses pengkajian disesuaikan dengan peraturan perundangan dan standar profesional.

10. Elemen Penilaian PP 1.3

  1. Rumah sakit menetapkan jenis populasi khusus yang akan dilakukan pengkajian meliputi poin a) - m) pada maksud dan tujuan.
  2. Rumah sakit telah melaksanakan pengkajian tambahan terhadap populasi pasien khusus sesuai ketentuan rumah sakit.

b. Pengkajian ulang pasien

1. Standard PP 2

Rumah sakit melakukan pengkajian ulang bagi semua pasien dengan interval waktu yang ditentukan untuk kemudian dibuat rencana asuhan lanjutan.

2. Maksud dan Tujuan PP 2

Pengkajian ulang dilakukan oleh semua PPA untuk menilai apakah asuhan yang diberikan telah berjalan dengan efektif. Pengkajian ulang dilakukan dalam interval waktu yang didasarkan atas kebutuhan dan rencana asuhan, dan digunakan sebagai dasar rencana pulang pasien sesuai dengan regulasi rumah sakit. Hasil pengkajian ulang dicatat di rekam medik pasien/CPPT sebagai informasi untuk di gunakan oleh semua PPA.

Pengkajian ulang oleh DPJP dibuat dibuat berdasarkan asuhan pasien sebelumnya. DPJP melakukan pengkajian terhadap pasien sekurang-kurangnya setiap hari, termasuk di akhir minggu/hari libur, dan jika ada perubahan kondisi pasien. Perawat melakukan pengkajian ulang minimal satu kali pershift atau sesuai perkembangan pasien, dan setiap hari DPJP akan mengkoordinasi dan melakukan verifikasi ulang perawat untuk asuhan keperawatan selanjutnya.

Penilaian ulang dilakukan dan hasilnya dimasukkan ke dalam rekam medis pasien:

  1. Secara berkala selama perawatan (misalnya, staf perawat secara berkala mencatat tanda-tanda vital, nyeri, penilaian dan suara paru-paru dan jantung, sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi pasien);
  2. Setiap hari oleh dokter untuk pasien perawatan akut;
  3. Dalam menanggapi perubahan signifikan dalam kondisi pasien; (Juga lihat PP 3.2)
  4. Jika diagnosis pasien telah berubah dan kebutuhan perawatan memerlukan perencanaan yang direvisi; dan
  5. Untuk menentukan apakah pengobatan dan perawatan lain telah berhasil dan pasien dapat dipindahkan atau dipulangkan.

Temuan pada pengkajian digunakan sepanjang proses pelayanan untuk mengevaluasi kemajuan pasien dan untuk memahami kebutuhan untuk pengkajian ulang. Oleh karena itu pengkajian medis, keperawatan dan PPA lain dicatat di rekam medik untuk digunakan oleh semua PPA yang memberikan asuhan ke pasien.

3. Elemen Penilaian PP 2

  1. Rumah sakit melaksanakan pengkajian ulang oleh DPJP, perawat dan PPA lainnya untuk menentukan rencana asuhan lanjutan.
  2. Terdapat bukti pelaksanaan pengkajian ulang medis dilaksanakan minimal satu kali sehari, termasuk akhir minggu/libur untuk pasien akut.
  3. Terdapat bukti pelaksanaan pengkajian ulang oleh perawat minimal satu kali per shift atau sesuai dengan perubahan kondisi pasien.
  4. Terdapat bukti pengkajian ulang oleh PPA lainnya dilaksanakan dengan interval sesuai regulasi rumah sakit.

c. Pelayanan laboratorium dan pelayanan darah

1. Standar PP 3

Pelayanan laboratorium tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai peraturan perundangan.

2. Maksud dan Tujuan PP 3

Rumah Sakit mempunyai sistem untuk menyediakan pelayanan laboratorium, meliputi pelayanan patologi klinis, dapat juga tersedia patologi anatomi dan pelayanan laboratorium lainnya, yang dibutuhkan populasi pasiennya, dan PPA. Organisasi pelayanan laboratorium yang di bentuk dan diselenggarakan sesuai peraturan perundangan Di Rumah Sakit dapat terbentuk pelayanan laboratorium utama (induk), dan juga pelayanan laboratorium lain, misalnya laboratorium Patologi Anatomi, laboratorium Mikrobiologi maka harus diatur secara organisatoris pelayanan laboratorium terintegrasi, dengan pengaturan tentang kepala pelayanan laboratorium terintegrasi yang membawahi semua jenis pelayanan laboratorium di Rumah Sakit.

Salah satu pelayanan laboratorium di ruang rawat (Point of Care Testing) yang dilakukan oleh perawat ruangan harus memenuhi persyaratan kredensial. Pelayanan laboratorium, tersedia 24 jam termasuk pelayanan darurat, diberikan di dalam rumah sakit dan rujukan sesuai dengan peraturan perundangan. Rumah sakit dapat juga menunjuk dan menghubungi para spesialis di bidang diagnostik khusus, seperti parasitologi, virologi, atau toksikologi. Jika diperlukan, rumah sakit dapat melakukan pemeriksaan rujukan dengan memilih sumber dari luar berdasarkan rekomendasi dari pimpinan laboratorum rumah sakit. Sumber dari luar tersebut dipilih oleh Rumah Sakit karena memenuhi peraturan perundangan dan mempunyai sertifikat mutu. Bila melakukan pemeriksaan rujukan keluar, harus melalui laboratorium Rumah Sakit.

3. Elemen Penilaian PP 3

  1. Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pelayanan laboratorium di rumah sakit.
  2. Pelayanan laboratorium buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu, sesuai dengan kebutuhan pasien.

4. Standar PP 3.1

Rumah sakit menetapkan bahwa seorang yang kompeten dan berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan laboratorium.

5. Maksud dan Tujuan PP 3.1

Pelayanan laboratorium berada dibawah pimpinan seorang yang kompeten dan memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Pimpinan laboratorium bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan laboratorium, termasuk pemeriksaan Point-of-care testing (POCT), juga tanggung jawabnya dalam melaksanakan regulasi RS secara konsisten, seperti pelatihan, manajemen logistik dan sebagainya.

Tanggung jawab pimpinan laboratorium antara lain:

  1. Menyusun dan evaluasi regulasi.
  2. Pengawasan pelaksanaan administrasi.
  3. Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME) dan mengintegrasikan program mutu laboratorium dengan program Manajemen Fasilitas dan Keamanan serta program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit.
  4. Melakukan pemantauan dan evaluasi semua jenis pelayanan laboratorium.
  5. Mereview dan menindak lanjuti hasil pemeriksaan laboratorium rujukan.

6. Elemen Penilaian PP 3.1

  1. Direktur rumah sakit menetapkan penanggung jawab laboratorium yang memiliki kompetensi sesuai ketentuan perundang-undangan.
  2. Terdapat bukti pelaksanaan tanggung jawab pimpinan laboratorium sesuai poin a) - e) pada maksud dan tujuan.

7. Standar PP 3.2

Staf laboratorium mempunyai pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan pemeriksaan.

8. Maksud dan Tujuan PP 3.2

Syarat pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman ditetapkan rumah sakit bagi mereka yang memiliki kompetensi dan kewenangan diberi ijin mengerjakan pemeriksaan laboratorium, termasuk yang mengerjakan pemeriksaan di tempat tidur pasien (POCT). Interpretasi hasil pemeriksaan dilakukan oleh dokter yang kompeten dan berwenang. Pengawasan terhadap staf yang mengerjakan pemeriksaan diatur oleh regulasi RS. Staf pengawas dan staf pelaksana diberi orientasi tugas mereka. Staf pelaksana diberi tugas sesuai latar belakang pendidikan dan pengalaman. Unit kerja laboratorium menyusun dan melaksanakan pelatihan staf yang memungkinkan staf mampu melakukan tugas sesuai dengan uraian tugasnya.

0.0.0.1 9. Elemen Penilaian PP 3.2

  1. Staf laboratorium yang membuat interpretasi telah memenuhi persyaratan kredensial.
  2. Staf laboratorium dan staf lain yang melaksanakan pemeriksaan termasuk yang mengerjakan Point-of-care testing (POCT), memenuhi persyaratan kredensial.

10. Standar PP 3.3

Rumah Sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan regular dan pemeriksaan segera (cito).

11. Maksud dan Tujuan PP 3.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium. Penyelesaian pemeriksaan laboratorium dilaporkan sesuai kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan segera (cito), antara lain dari unit gawat darurat, kamar operasi, unit intensif diberi perhatian khusus terkait kecepatan hasil pemeriksaan. Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga) atau laboratorium rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan juga mengikuti ketentuan rumah sakit.

12. Elemen Penilaian PP 3.3

  1. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium regular dan cito.
  2. Terdapat bukti pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium.
  3. Terdapat bukti pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan cito.
  4. Terdapat bukti pencatatan dan evaluasi pelayanan laboratorium rujukan.

13. Standar PP 3.4

Rumah sakit memiliki prosedur pengelolaan semua reagensia esensial dan di evaluasi secara berkala pelaksaksanaannya.

14. Maksud dan Tujuan PP 3.4

Rumah sakit menetapkan reagensia dan bahan-bahan lain yang selalu harus ada untuk pelayanan laboratorium bagi pasien. Suatu proses yang efektif untuk pemesanan atau menjamin ketersediaan reagensia esensial dan bahan lain yang diperlukan. Semua reagensia disimpan dan didistribusikan sesuai prosedur yang ditetapkan. Dilakukan audit secara periodik untuk semua reagensia esensial untuk memastikan akurasi dan presisi hasil pemeriksaan, antara lain untuk aspek penyimpanan, label, kadaluarsa dan fisik. Prosedur tertulis memastikan pemberian label secara lengkap dan akurat untuk reagensia dan larutan dan akurasi serta presisi dari hasil.

15. Elemen Penilaian PP 3.4

  1. Terdapat bukti pelaksanaan semua reagensia esensial disimpan dan diberi label, serta didistribusi sesuai prosedur dari pembuatnya atau instruksi pada kemasannya
  2. Terdapat bukti pelaksanaan evaluasi/audit semua reagen.

16. Standar PP 3.5

Rumah sakit memiliki prosedur untuk cara pengambilan, pengumpulan, identifikasi, pengerjaan, pengiriman, penyimpanan, dan pembuangan spesimen.

17. Maksud dan Tujuan PP 3.5

Prosedur pelayanan laboratorium meliputi minimal tapi tidak terbatas pada:

  1. Permintaan pemeriksaan.
  2. Pengambilan, pengumpulan dan identifikasi spesimen.
  3. Pengiriman, pembuangan, penyimpanan dan pengawetan spesimen.
  4. Penerimaan, penyimpanan, telusur spesimen (tracking).

18. Elemen Penilaian PP 3.5

  1. Pengelolaan spesimen dilaksanakan sesuai poin a) - d) pada maksud dan tujuan.
  2. Terdapat bukti pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan spesimen.

19. Standar PP 3.6

Rumah sakit menetapkan nilai normal dan rentang nilai untuk interpretasi dan pelaporan hasil laboratorium klinis.

20. Maksud dan Tujuan PP 3.6

Rumah sakit menetapkan rentang nilai normal/rujukan setiap jenis pemeriksaan. Rentang nilai dilampirkan di dalam laporan klinik, baik sebagai bagian dari pemeriksaan atau melampirkan daftar terkini, nilai ini yang ditetapkan pimpinan laboratorium. Jika pemeriksaan dilakukan oleh laboratorium rujukan, rentang nilai diberikan. Selalu harus dievaluasi dan direvisi apabila metode pemeriksaan berubah.

21. Elemen Penilaian PP 3.6

  1. Rumah sakit menetapkan dan mengevaluasi rentang nilai normal untuk interpretasi, pelaporan hasil laboratorium klinis.
  2. Setiap hasil pemeriksaan laboratorium dilengkapi dengan rentang nilai normal.

22. Standar PP 3.7

Rumah sakit melaksanakan prosedur kendali mutu pelayanan laboratorium, di evaluasi dan dicatat sebagai dokumen.

23. Maksud dan Tujuan PP 3.7

Kendali mutu yang baik sangat esensial bagi pelayanan laboratorium agar laboratorium dapat memberikan layanan prima. Program kendali mutu di laboratorium mencakup pemantapan mutu internal (PMI) dan pemantauan mutu eksternal (PME). Tahapan PMI praanalitik, analitik dan pascaanalitik yang memuat antara lain:

  1. Validasi tes yang digunakan untuk tes akurasi, presisi, hasil rentang nilai;
  2. Dilakukan surveilans hasil pemeriksaan oleh staf yang kompeten;
  3. Reagensia di tes;
  4. Koreksi cepat jika ditemukan kekurangan;
  5. Dokumentasi hasil dan tindakan koreksi; dan
  6. Pemantapan Mutu Eksternal.

24. Elemen Penilaian PP 3.7

  1. Terdapat bukti bahwa unit laboratorium telah melakukan Pemantapan Mutu Internal (PMI) secara rutin yang meliputi poin a-e pada maksud dan tujuan.
  2. Terdapat bukti bahwa unit laboratorium telah melakukan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) secara rutin.

25. Standar PP 3.8

Rumah sakit bekerjasama dengan laboratorium rujukan yang terakreditasi.

26. Maksud dan Tujuan PP 3.8

Untuk memastikan pelayanan yang aman dan bermutu rumah sakit memiliki perjanjian kerjasama dengan laboratorium rujukan. Perjanjian kerjasama ini bertujuan agar rumah sakit memastikan bahwa laboratorium rujukan telah memenhi persyaratan dan terakreditasi. Perjanjian kerjasama mencantumkan hal hal yang harus ditaati kedua belah pihak dan perjanjian dievaluasi secara berkala oleh pimpinan rumah sakit.

27. Elemen Penilaian dari PP 3.8

  1. Unit laboratorium memiliki bukti sertifikat akreditasi laboratorium rujukan yang masih berlaku.
  2. Telah dilakukan pemantauan dan evaluasi kerjasama pelayanan kontrak sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

28. Standar PP 3.9

Rumah Sakit menetapkan regulasi tentang penyelenggara pelayanan darah dan menjamin pelayanan yang diberikan sesuai peraturan dan perundang-undangan dan standar pelayanan.

29. Maksud dan Tujuan PP 3.9

Jika terdapat pelayanan yang direncanakan untuk penggunaan darah dan produk darah, maka dalam hal ini diperlukan persetujuan tindakan khusus. Rumah sakit mengidentifikasi prosedur berisiko tinggi di dalam perawatan yang membutuhkan persetujuan, diantaranya adalah pemberian darah dan produk darah.

30. Elemen Penilaian PP 3.9

  1. Rumah sakit menerapkan regulasi tentang penyelenggaraan pelayanan darah di rumah sakit.
  2. Penyelenggaraan pelayanan darah dibawah tanggung jawab seorang staf yang kompeten.
  1. Rumah sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi mutu terhadap penyelenggaran pelayanan darah di rumah sakit.
  2. Rumah sakit menerapkan proses persetujuan tindakan pasien untuk pemberian darah dan produk darah.

d. Pelayanan radiologi klinik

1. Standar PP 4

Pelayanan radiologi klinik menetapkan regulasi pelayanan radiologi klinis di rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan PP 4

Pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) meliputi:

  1. Pelayanan radiodiagnostik;
  2. Pelayanan diagnostik Imajing; dan
  3. Pelayanan radiologi intervensional.

Rumah sakit menetapkan sistem yang terintegrasi untuk menyelenggarakan pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional yang dibutuhkan pasien, asuhan klinis dan Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Pelayanan radiologi klinik buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu sesuai dengan kebutuhan pasien.

3. Elemen Penilaian PP 4

  1. Rumah Sakit menetapkan dan melaksanakan regulasi pelayanan radiologi klinik.
  2. Terdapat pelayanan radiologi klinik selama 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu, sesuai dengan kebutuhan pasien.

4. Standar PP 4.1

Rumah Sakit menetapkan seorang yang kompeten dan berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan RIR.

5. Maksud dan Tujuan PP 4.1

Pelayanan Radiodiagnostik, Imajing dan Radiologi Intervensional berada dibawah pimpinan seorang yang kompeten dan berwenang memenuhi persyaratan peraturan perundangan.

Pimpinan radiologi klinik bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan RIR, termasuk pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (POCT), juga tanggung jawabnya dalam melaksanakan regulasi RS secara konsisten, seperti pelatihan, manajemen logistik, dan sebagainya. Tanggung jawab pimpinan pelayanan radiologi diagnostik imajing, dan radiologi intervensional antara lain:

  1. Menyusun dan evaluasi regulasi.
  2. Pengawasan pelaksanaan administrasi.
  3. Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME) dan mengintegrasikan program mutu radiologi dengan program Manajemen Fasilitas dan Keamanan serta program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit.
  4. Memonitor dan evaluasi semua jenis pelayanan RIR.
  5. Mereviu dan menindak lanjuti hasil pemeriksaan pelayanan RIR rujukan.

6. Elemen Penilaian PP 4.1

  1. Direktur menetapkankan penanggung jawab radiologi klinik yang memiliki kompetensi sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Terdapat bukti pengawasan pelayanan radiologi klinik oleh penanggung jawab radiologi klinik sesuai poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

7. Standar PP 4.2

Semua staf radiologi klinik mempunyai pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan pemeriksaan.

8. Maksud dan Tujuan PP 4.2

Rumah sakit menetapkan mereka yang bekerja sebagai staf radiologi dan diagnostik imajing yang kompeten dan berwenang melakukan pemeriksaan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional, pembacaan diagnostik imajing, pelayanan pasien di tempat tidur (POCT), membuat interpretasi, melakukan verifikasi dan serta melaporkan hasilnya, serta mereka yang mengawasi prosesnya.

Staf pengawas dan staf pelaksana teknikal mempunyai latar belakang pelatihan, pengalaman, ketrampilan dan telah menjalani orientasi tugas pekerjaannya. Staf teknikal diberi tugas pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka. Sebagai tambahan, jumlah staf cukup tersedia untuk melakukan tugas, membuat interpretasi, dan melaporkan segera hasilnya untuk layanan darurat.

9. Elemen Penilaian PP 4.2

  1. Staf radiologi klinik yang membuat interpretasi telah memenuhi persyaratan kredensial
  2. Staf radiologi klinik dan staf lain yang melaksanakan pemeriksaan termasuk yang mengerjakan tindakan di Ruang Rawat pasien, memenuhi persyaratan kredensial.

10. Standar PP 4.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik regular dan cito.

11. Maksud dan Tujuan PP 4.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi dan diagnostik imajing. Penyelesaian pemeriksaan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) dilaporkan sesuai kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan cito, antara lain dari unit darurat, kamar operasi, unit intensif diberi perhatian khusus terkait kecepatan hasil pemeriksaan. Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga) atau radiologi rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan mengikuti ketentuan rumah sakit dan MOU dengan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) rujukan.

12. Elemen Penilaian PP 4.3

  1. Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.
  2. Dilakukan pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.
  3. Dilakukan pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan cito.
  4. Terdapat bukti pencatatan dan evaluasi pelayanan radiologi rujukan.

13. Standar PP 4.4

Film X-ray dan bahan lainnya tersedia secara teratur.

14. Maksud dan tujuan PP 4.4

Untuk menjamin pelayanan radiologi dapat berjalan dengan baik maka pimpinan rumah sakit harus memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan radiologi. Perencanaan kebutuhan dan pengelolaan bahan habis pakai dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

15. Elemen Penilaian PP 4.4

  1. Rumah sakit menetapkan proses pengelolaan logistik film x-ray, reagens, dan bahan lainnya, termasuk kondisi bila terjadi kekosongan.
  2. Semua film x-ray disimpan dan diberi label, serta didistribusi sesuai pedoman dari pembuatnya atau instruksi pada kemasannya.

16. Standar PP 4.5

Rumah sakit menetapkan program kendali mutu, dilaksanakan, divalidasi dan didokumentasikan.

17. Maksud dan Tujuan PP 4.5

Kendali mutu dalam pelayanan radiodiagnostik terdiri dari Pemantapan Mutu Internal dan Pemantaoan Mutu Eksternal. Kedua hal tersebut dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan.

18. Elemen Penilaian PP 4.5

  1. Terdapat bukti bahwa unit radiologi klinik telah melaksanakan Pemantapan Mutu Internal (PMI).
  2. Terdapat bukti bahwa unit radiologi klinik melaksanakan Pemantapan Mutu Eksternal (PME).

4. Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP)

Gambaran Umum

Tanggung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting adalah memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman. Hal ini membutuhkan komunikasi yang efektif, kolaborasi, dan standardisasi proses untuk memastikan bahwa rencana, koordinasi, dan implementasi asuhan mendukung serta merespons setiap kebutuhan unik pasien dan target.

Asuhan tersebut dapat berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau rehabilitatif termasuk anestesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif, atau kombinasinya, yang berdasar atas pengkajian awal dan pengkajian ulang pasien.

Area asuhan risiko tinggi (termasuk resusitasi dan transfusi) serta asuhan untuk pasien risiko tinggi atau kebutuhan populasi khusus yang membutuhkan perhatian tambahan.

Asuhan pasien dilakukan oleh profesional pemberi asuhan (PPA) dengan banyak disiplin dan staf klinis. Semua staf yang terlibat dalam asuhan pasien harus memiliki peran yang jelas, ditentukan oleh kompetensi dan kewenangan, kredensial, sertifikasi, hukum dan regulasi, keterampilan individu, pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan rumah sakit, atau uraian tugas wewenang (UTW). Beberapa asuhan dapat dilakukan oleh pasien/keluarganya atau pemberi asuhan terlatih (caregiver). Pelaksanaan asuhan dan pelayanan harus dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh semua profesional pemberi asuhan (PPA) dapat dibantu oleh staf klinis. Asuhan pasien terintegrasi dilaksanakan dengan beberapa elemen:

  1. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan klinis/ketua tim PPA (clinical leader).
  2. PPA bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional, menggunakan panduan praktik klinis (PPK), alur klinis/clinical pathway terintegrasi, algoritma, protokol, prosedur, standing order, dan catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT).
  3. Manajer Pelayanan Pasien (MPP)/Case Manager menjaga kesinambungan pelayanan.
  4. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarga dalam asuhan bersama PPA harus memastikan:
  1. Asuhan direncanakan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang unik berdasar atas hasil pengkajian;
  2. Rencana asuhan diberikan kepada tiap pasien;
  3. Respons pasien terhadap asuhan dipantau; dan
  4. Rencana asuhan dimodifikasi bila perlu berdasarkan respons pasien. Fokus Standar Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) meliputi:
  1. Pemberian pelayanan untuk semua pasien
  2. Pelayanan pasien risiko tinggi dan penyediaan pelayanan risiko tinggi;
  3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi;
  4. Pengelolaan nyeri; dan
  5. Pelayanan menjelang akhir hayat.

a. Pemberian pelayanan untuk semua pasien

1. Standar PAP 1

Pelayanan dan asuhan yang seragam diberikan untuk semua pasien sesuai peraturan perundang-undangan.

2. Maksud dan Tujuan PAP 1

Pasien dengan masalah kesehatan dan kebutuhan pelayanan yang sama berhak mendapat mutu asuhan yang seragam di rumah sakit. Untuk melaksanakan prinsip mutu asuhan yang setingkat, pimpinan harus merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan pasien. Secara khusus, pelayanan yang diberikan kepada populasi pasien yang sama pada berbagai unit kerja sesuai dengan regulasi yang ditetapkan rumah sakit. Sebagai tambahan, pimpinan harus menjamin bahwa rumah sakit menyediakan tingkat mutu asuhan yang sama setiap hari dalam seminggu dan pada setiap shift. Regulasi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sehingga proses pelayanan pasien dapat diberikan secara kolaboratif. Asuhan pasien yang seragam tercermin dalam hal-hal berikut:

  1. Akses untuk mendapatkan asuhan dan pengobatan tidak bergantung pada kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembayaran.
  2. Akses untuk mendapatkan asuhan dan pengobatan yang diberikan oleh PPA yang kompeten tidak bergantung pada hari atau jam yaitu 7 (tujuh) hari, 24 (dua puluh empat) jam
  3. Kondisi pasien menentukan sumber daya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhannya
  4. Pemberian asuhan yang diberikan kepada pasien, sama di semua unit pelayanan di rumah sakit misalnya pelayanan anestesi.
  5. Pasien yang membutuhkan asuhan keperawatan yang sama akan menerima tingkat asuhan keperawatan yang sama di semua unit pelayanan di rumah sakit.

Keseragaman dalam memberikan asuhan pada semua pasien akan menghasilkan penggunaan sumber daya yang efektif dan memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap hasil asuhan yang sama di semua unit pelyanan di rumah sakit.

3. Elemen Penilaian PAP 1

  1. Rumah sakit menetapkan regulasi tentang Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) yang meliputi poin a) – e) dalam gambaran umum.
  2. Asuhan yang seragam diberikan kepada setiap pasien meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan

4. Standar PAP 1.1

Proses pelayanan dan asuhan pasien yang terintegrasi serta terkoordinasi telah dilakukan sesuai instruksi.

5. Maksud dan Tujuan PAP 1.1

Proses pelayanan dan asuhan pasien bersifat dinamis dan melibatkan banyak PPA dan berbagai unit pelayanan. Agar proses pelayanan dan asuhan pasien menjadi efisien, penggunaan sumber daya manusia dan sumber lainnya menjadi efektif, dan hasil akhir kondisi pasien menjadi lebih baik maka diperlukan integrasi dan koordinasi. Kepala unit pelayanan menggunakan cara untuk melakukan integrasi dan koordinasi pelayanan serta asuhan lebih baik (misalnya, pemberian asuhan pasein secara tim oleh para PPA, ronde pasien multidisiplin, formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT), dan manajer pelayanan pasien/case manager).

Instruksi PPA dibutuhkan dalam pemberian asuhan pasien misalnya instruksi pemeriksaan di laboratorium (termasuk Patologi Anatomi), pemberian obat, asuhan keperawatan khusus, terapi nurtrisi, dan lain-lain. Instruksi ini harus tersedia dan mudah diakses sehingga dapat ditindaklanjuti tepat waktu misalnya dengan menuliskan instruksi pada formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) dalam rekam medis atau didokumentasikan dalam elektronik rekam medik agar staf memahami kapan instruksi harus dilakukan, dan siapa yang akan melaksanakan instruksi tersebut.

Setiap rumah sakit harus mengatur dalam regulasinya:

  1. Instruksi seperti apa yang harus tertulis/didokumentasikan (bukan instruksi melalui telepon atau instruksi lisan saat PPA yang memberi instruksi sedang berada di tempat/rumah sakit), antara lain:
  1. Instruksi yang diijinkan melalui telepon terbatas pada situasi darurat dan ketika dokter tidak berada di tempat/di rumah sakit.
  2. Instruksi verbal diijinkan terbatas pada situasi dimana dokter yang memberi instruksi sedang melakukan tindakan/prosedur steril.
  1. Permintaan pemeriksaan laboratorium (termasuk pemeriksaan Patologi Anatomi) dan diagnostik imajing tertentu harus disertai indikasi klinik
  2. Pengecualian dalam kondisi khusus, misalnya di unit darurat dan unit intensif
  3. Siapa yang diberi kewenangan memberi instruksi dan perintah catat di dalam berkas rekam medik/sistem elektronik rekam medik sesuai regulasi rumah sakit

Prosedur diagnostik dan tindakan klinis, yang dilakukan sesuai instruksi serta hasilnya didokumentasikan di dalam rekam medis pasien. Contoh prosedur dan tindakan misalnya endoskopi, kateterisasi jantung, terapi radiasi, pemeriksaan Computerized Tomography (CT), dan tindakan serta prosedur diagnostik invasif dan non-invasif lainnya. Informasi mengenai siapa yang meminta dilakukannya prosedur atau tindakan, dan alasan dilakukannya prosedur atau tindakan tersebut didokumentasikan dalam rekam medik.

Di rawat jalan bila dilakukan tindakan diagnostik invasif/berisiko, termasuk pasien yang dirujuk dari luar, juga harus dilakukan pengkajian serta pencatatannya dalam rekam medis.

6. Elemen Penilaian Standar PAP 1.1

  1. Rumah sakit telah melakukan pelayanan dan asuhan yang terintegrasi serta terkoordinasi kepada setiap pasien.
  2. Rumah sakit telah menetapkan kewenangan pemberian instruksi oleh PPA yang kompeten, tata cara pemberian instruksi dan pendokumentasiannya.
  3. Permintaan pemeriksaan laboratorium dan diagnostik imajing harus disertai indikasi klinis apabila meminta hasilnya berupa interpretasi.
  4. Prosedur dan tindakan telah dilakukan sesuai instruksi dan PPA yang memberikan instruksi, alasan dilakukan prosedur atau tindakan serta hasilnya telah didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.
  5. Pasien yang menjalani tindakan invasif/berisiko di rawat jalan telah dilakukan pengkajian dan didokumentasikan dalam rekam medis.

7. Standar PAP 1.2

Rencana asuhan individual setiap pasien dibuat dan didokumentasikan

8. Maksud dan Tujuan Standar PAP 1.2

Rencana asuhan merangkum asuhan dan pengobatan/tindakan yang akan diberikan kepada seorang pasien. Rencana asuhan memuat satu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh PPA untuk menegakkan atau mendukung diagnosis yang disusun dari hasil pengkajian. Tujuan utama rencana asuhan adalah memperoleh hasil klinis yang optimal.

Proses perencanaan bersifat kolaboratif menggunakan data yang berasal dari pengkajian awal dan pengkajian ulang yang di buat oleh para PPA (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, dan lain-lainnya)

Rencana asuhan dibuat setelah melakukan pengkajian awal dalam waktu 24 jam terhitung sejak pasien diterima sebagai pasien rawat inap. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan pasien yang objektif dan memiliki sasaran yang dapat diukur untuk memudahkan pengkajian ulang serta mengkaji atau merevisi rencana asuhan. Pasien dan keluarga dapat dilibatkan dalam proses perencanaan asuhan. Rencana asuhan harus disertai target terukur, misalnya:

  1. Detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah menjadi normal atau sesuai dengan rencana yang ditetapkan;
  2. Pasien mampu menyuntik sendiri insulin sebelum pulang dari rumah sakit;
  3. Pasien mampu berjalan dengan “walker” (alat bantu untuk berjalan).

Berdasarkan hasil pengkajian ulang, rencana asuhan diperbaharui untuk dapat menggambarkan kondisi pasien terkini. Rencana asuhan pasien harus terkait dengan kebutuhan pasien. Kebutuhan ini mungkin berubah sebagai hasil dari proses penyembuhan klinis atau terdapat informasi baru hasil pengkajian ulang (contoh, hilangnya kesadaran, hasil laboratorium yang abnormal). Rencana asuhan dan revisinya didokumentasikan dalam rekam medis pasien sebagai rencana asuhan baru.

DPJP sebagai ketua tim PPA melakukan evaluasi / reviu berkala dan verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara terintegrasi dan membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.

Catatan: satu rencana asuhan terintegrasi dengan sasaran- sasaran yang diharapkan oleh PPA lebih baik daripada rencana terpisah oleh masing-masing PPA. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan individual, objektif, dan sasaran dapat diukur untuk memudahkan pengkajian ulang serta revisi rencana asuhan.

9. Elemen Penilaian PAP 1.2

  1. PPA telah membuat rencana asuhan untuk setiap pasien setelah diterima sebagai pasien rawat inap dalam waktu 24 jam berdasarkan hasil pengkajian awal.
  2. Rencana asuhan dievaluasi secara berkala, direvisi atau dimutakhirkan serta didokumentasikan dalam rekam medis oleh setiap PPA.
  3. Instruksi berdasarkan rencana asuhan dibuat oleh PPA yang kompeten dan berwenang, dengan cara yang seragam, dan didokumentasikan di CPPT.
  4. Rencana asuhan pasien dibuat dengan membuat sasaran yang terukur dan di dokumentasikan.
  5. DPJP telah melakukan evaluasi/review berkala dan verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara terintegrasi dan membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.

b. Pelayanan pasien risiko tinggi dan penyediaan pelayanan risiko tinggi

1. Standar PAP 2

Rumah sakit menetapkan pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki.

2. Maksud dan Tujuan PAP 2

Rumah sakit memberikan pelayanan untuk pasien dengan berbagai keperluan. Pelayanan pada pasien berisiko tinggi membutuhkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK) clinical pathway dan rencana perawatan yang akan mendukung PPA memberikan pelayanan kepada pasien secara menyeluruh, kompeten dan seragam.

Dalam memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi, Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab untuk:

  1. Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap berisiko tinggi di rumah sakit;
  2. Menetapkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana perawatan secara kolaboratif
  3. Melatih staf untuk menerapkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana perawatan rencana perawatan tersebut.

Pelayanan pada pasien berisiko tinggi atau pelayanan berisiko tinggi dibuat berdasarkan populasi yaitu pasien anak, pasien dewasa dan pasien geriatri. Hal-hal yang perlu diterapkan dalam pelayanan tersebut meliputi Prosedur, dokumentasi, kualifikasi staf dan peralatan medis meliputi:

  1. Rencana asuhan perawatan pasien;
  2. Perawatan terintegrasi dan mekanisme komunikasi antar PPA secara efektif;
  3. Pemberian informed consent, jika diperlukan;
    1. Pemantauan/observasi pasien selama memberikan pelayanan;
  4. Kualifikasi atau kompetensi staf yang memberikan pelayanan; dan
  5. Ketersediaan dan penggunaan peralatan medis khusus untuk pemberian pelayanan.

Rumah sakit mengidentifikasi dan memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki meliputi:

  1. Pasien emergensi;
  2. Pasien koma;
  3. Pasien dengan alat bantuan hidup;
  4. Pasien risiko tinggi lainnya yaitu pasien dengan penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes;
  5. Pasien dengan risiko bunuh diri;
  6. Pelayanan pasien dengan penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menyebabkan kejadian luar biasa;
  7. Pelayanan pada pasien dengan “immuno-suppressed”;
  8. Pelayanan pada pasien yang mendapatkan pelayanan dialisis;
  9. Pelayanan pada pasien yang direstrain;
  10. Pelayanan pada pasien yang menerima kemoterapi;
  11. Pelayanan pasien paliatif;
  12. Pelayanan pada pasien yang menerima radioterapi;
  13. Pelayanan pada pasien risiko tinggi lainnya (misalnya terapi hiperbarik dan pelayanan radiologi intervensi);
  14. Pelayanan pada populasi pasien rentan, pasien lanjut usia (geriatri) misalnya anak-anak, dan pasien berisiko tindak kekerasan atau diterlantarkan misalnya pasien dengan gangguan jiwa.

Rumah sakit juga menetapkan jika terdapat risiko tambahan setelah dilakukan tindakan atau rencana asuhan (contoh, kebutuhan mencegah trombosis vena dalam, luka dekubitus, infeksi terkait penggunaan ventilator pada pasien, cedera neurologis dan pembuluh darah pada pasien restrain, infeksi melalui pembuluh darah pada pasien dialisis, infeksi saluran/slang sentral, dan pasien jatuh. Jika terjadi risiko tambahan tersebut, dilakukan penanganan dan pencegahan dengan membuat regulasi, memberikan pelatihan dan edukasi kepada staf.

Rumah sakit menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada pasien risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi serta mengintegrasikan informasi tersebut dalam pemilihan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit pada program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

3. Elemen Penilaian PAP 2

  1. Pimpinan rumah sakit telah melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pada pasien berisiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi meliputi a) - c) dalam maksud dan tujuan.
  2. Rumah sakit telah memberikan pelayanan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi yang telah diidentifikasi berdasarkan populasi yaitu pasien anak, pasien dewasa dan pasien geriatri sesuai dalam maksud dan tujuan.
  3. Pimpinan rumah sakit telah mengidentifikasi risiko tambahan yang dapat mempengaruhi pasien dan pelayanan risiko tinggi.

4. Standar PAP 2.1

Rumah sakit memberikan pelayanan geriatri rawat jalan, rawat inap akut dan rawat inap kronis sesuai dengan tingkat jenis pelayanan.

5. Standar PAP 2.2

Rumah Sakit melakukan promosi dan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).

6. Maksud dan Tujuan PAP 2.1 dan PAP 2.2

Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit/gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara tepadu dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja sama secara interdisiplin. Dengan meningkatnya sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan maka usia harapan hidup semakin meningkat, sehingga secara demografi terjadi peningkatan populasi lanjut usia. Sehubungan dengan itu rumah sakit perlu menyelenggarakan pelayanan geriatri sesuai dengan tingkat jenis pelayanan geriatri:

  1. Tingkat sederhana (rawat jalan dan home care)
  2. Tingkat lengkap (rawat jalan, rawat inap akut dan home care)
  3. Tingkat sempurna (rawat jalan, rawat inap akut dan home care klinik asuhan siang)
  4. Tingkat paripurna (rawat jalan, klinik asuhan siang, rawat inap akut, rawat inap kronis, rawat inap psychogeriatri, penitipan pasien Respit care dan home care)

7. Elemen Penilaian PAP 2.1

  1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana nya.
  2. Rumah sakit telah menetapkan tim terpadu geriatri dan telah menyelenggarakan pelayanan sesuai tingkat jenis layanan
  3. Rumah sakit telah melaksanakan proses pemantauan dan evaluasi kegiatan pelayanan geriatri
  4. Ada pelaporan penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit.

8. Elemen Penilaian PAP 2.2

  1. Ada program PKRS terkait Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).
  2. Rumah sakit telah memberikan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).
  3. Rumah sakit telah melaksanakan kegiatan sesuai program dan tersedia leaflet atau alat bantu kegiatan (brosur, leaflet, dan lain-lainnya).
  4. Rumah sakit telah melakukan evaluasi dan membuat laporan kegiatan pelayanan secara berkala.

9. Standar PAP 2.3

Rumah sakit menerapkan proses pengenalan perubahan kondisi pasien yang memburuk.

10. Maksud dan Tujuan PAP 2.3

Staf yang tidak bekerja di daerah pelayanan kritis/intensif mungkin tidak mempunyai pengetahuan dan pelatihan yang cukup untuk melakukan pengkajian, serta mengetahui pasien yang akan masuk dalam kondisi kritis. Padahal, banyak pasien di luar daerah pelayanan kritis mengalami keadaan kritis selama dirawat inap. Seringkali pasien memperlihatkan tanda bahaya dini (contoh, tanda- tanda vital yang memburuk dan perubahan kecil status neurologis) sebelum mengalami penurunan kondisi klinis yang meluas sehingga mengalami kejadian yang tidak diharapkan.

Ada kriteria fisiologis yang dapat membantu staf untuk mengenali sedini-dininya pasien yang kondisinya memburuk. Sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung atau gagal paru sebelumnya memperlihatkan tanda-tanda fisiologis di luar kisaran normal yang merupakan indikasi keadaan pasien memburuk. Hal ini dapat diketahui dengan early warning system (EWS).

Penerapan EWS membuat staf mampu mengidentifikasi keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten. Dengan demikian, hasil asuhan akan lebih baik. Pelaksanaan EWS dapat dilakukan menggunakan sistem skor oleh PPA yang terlatih.

11. Elemen Penilaian PAP 2.3

  1. Rumah sakit telah menerapkan proses pengenalan perubahan kondisi pasien yang memburuk (EWS) dan mendokumentasikannya di dalam rekam medik pasien.
  2. Rumah sakit memiliki bukti PPA dilatih menggunakan EWS.

12. Standar PAP 2.4

Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit.

13. Maksud dan Tujuan PAP 2.4

Pelayanan resusitasi diartikan sebagai intervensi klinis pada pasien yang mengalami kejadian mengancam hidupnya seperti henti jantung atau paru. Pada saat henti jantung atau paru maka pemberian kompresi pada dada atau bantuan pernapasan akan berdampak pada hidup atau matinya pasien, setidak-tidaknya menghindari kerusakan jaringan otak. Resusitasi yang berhasil pada pasien dengan henti jantung-paru bergantung pada intervensi yang kritikal/penting seperti kecepatan pemberian bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut yang akurat (code blue) dan kecepatan melakukan defibrilasi. Pelayanan seperti ini harus tersedia untuk semua pasien selama 24 jam setiap hari.

Sangat penting untuk dapat memberikan pelayanan intervensi yang kritikal, yaitu tersedia dengan cepat peralatan medis terstandar, obat resusitasi, dan staf terlatih yang baik untuk resusitasi. Bantuan hidup dasar harus dilakukan secepatnya saat diketahui ada tanda henti jantung-paru dan proses pemberian bantuan hidup lanjut kurang dari 5 (lima) menit. Hal ini termasuk evaluasi terhadap pelaksanaan sebenarnya resusitasi atau terhadap simulasi pelatihan resusitasi di rumah sakit. Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit termasuk peralatan medis dan staf terlatih, berbasis bukti klinis, dan populasi pasien yang dilayani

14. Elemen Penilaian PAP 2.4

  1. Pelayanan resusitasi tersedia dan diberikan selama 24 jam setiap hari di seluruh area rumah sakit.
  2. Peralatan medis untuk resusitasi dan obat untuk bantuan hidup dasar dan lanjut terstandar sesuai dengan kebutuhan populasi pasien.
  3. Di seluruh area rumah sakit, bantuan hidup dasar diberikan segera saat dikenali henti jantung-paru dan bantuan hidup lanjut diberikan kurang dari 5 menit.
  4. Staf diberi pelatihan pelayanan bantuan hidup dasar/lanjut sesuai dengan ketentuan rumah sakit.

15. Standar PAP 2.5

Pelayanan darah dan produk darah dilaksanakan sesuai dengan panduan klinis serta prosedur yang ditetapkan rumah sakit.

16. Maksud dan tujuan PAP 2.5

Pelayanan darah dan produk darah harus diberikan sesuai peraturan perundangan meliputi antara lain:

  1. Pemberian persetujuan (informed consent);
  2. Permintaan darah;
  3. Tes kecocokan;
  4. Pengadaan darah;
  5. Penyimpanan darah;
  6. Identifikasi pasien;
  7. Distribusi dan pemberian darah; dan
  8. Pemantauan pasien dan respons terhadap reaksi transfusi.

Staf kompeten dan berwenang melaksanakan pelayanan darah dan produk darah serta melakukan pemantauan dan evaluasi.

17. Elemen Penilaian PAP 2.5

  1. Rumah sakit menerapkan penyelenggaraan pelayanan darah.
  2. Panduan klinis dan prosedur disusun dan diterapkan untuk pelayanan darah serta produk darah.
  3. Staf yang kompeten bertanggungjawab terhadap pelayanan darah di rumah sakit.

c. Pemberian makanan dan terapi nutrisi

1. Standar PAP 3

Rumah sakit memberikan makanan untuk pasien rawat inap dan terapi nutrisi terintegrasi untuk pasien dengan risiko nutrisional.

2. Maksud dan Tujuan PAP 3

Makanan dan terapi nutrisi yang sesuai sangat penting bagi kesehatan pasien dan penyembuhannya. Pilihan makanan disesuaikan dengan usia, budaya, pilihan, rencana asuhan, diagnosis pasien termasuk juga antara lain diet khusus seperti rendah kolesterol dan diet diabetes melitus. Berdasarkan pengkajian kebutuhan dan rencana asuhan, maka DPJP atau PPA lain yang kompeten memesan makanan dan nutrisi lainnya untuk pasien. Pasien berhak menentukan makanan sesuai dengan nilai yang dianut. Bila memungkinkan pasien ditawarkan pilihan makanan yang konsisten dengan status gizi.

Jika keluarga pasien atau ada orang lain mau membawa makanan untuk pasien, maka mereka diberikan edukasi tentang makanan yang merupakan kontraindikasi terhadap rencana, kebersihan makanan, dan kebutuhan asuhan pasien, termasuk informasi terkait interaksi antara obat dan makanan. Makanan yang dibawa oleh keluarga atau orang lain disimpan dengan benar untuk mencegah kontaminasi. Skrining risiko gizi dilakukan pada pengkajian awal. Jika pada saat skrining ditemukan pasien dengan risiko gizi maka terapi gizi terintegrasi diberikan, dipantau, dan dievaluasi.

3. Elemen Penilaian PAP 3

  1. Berbagai pilihan makanan atau terapi nutrisi yang sesuai untuk kondisi, perawatan, dan kebutuhan pasien tersedia dan disediakan tepat waktu.
  2. Sebelum pasien rawat inap diberi makanan, terdapat instruksi pemberian makanan dalam rekam medis pasien yang didasarkan pada status gizi dan kebutuhan pasien.
  3. Untuk makanan yang disediakan keluarga, edukasi diberikan mengenai batasan-batasan diet pasien dan penyimpanan yang baik untuk mencegah kontaminasi.
  4. Memiliki bukti pemberian terapi gizi terintegrasi (rencana, pemberian dan evaluasi) pada pasien risiko gizi.
  5. Pemantauan dan evaluasi terapi gizi dicatat di rekam medis pasien.

d. Pengelolaan nyeri

1. Standar PAP 4

Pasien mendapatkan pengelolaan nyeri yang efektif.

2. Maksud dan Tujuan PAP 4

Pasien berhak mendapatkan pengkajian dan pengelolaan nyeri yang tepat. Rumah sakit harus memiliki proses untuk melakukan skrining, pengkajian, dan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, yang terdiri dari:

  1. Identifikasi pasien dengan rasa nyeri pada pengkajian awal dan pengkajian ulang.
  2. Memberi informasi kepada pasien bahwa rasa nyeri dapat merupakan akibat dari terapi, prosedur, atau pemeriksaan.
  3. Memberikan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, terlepas dari mana nyeri berasal, sesuai dengan regulasi rumah sakit.
  4. Melakukan komunikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pengelolaan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.
  5. Memberikan edukasi kepada seluruh PPA mengenai pengkajian dan pengelolaan nyeri.

3. Elemen Penilaian PAP 4

  1. Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan skrining, pengkajian, dan tata laksana nyeri meliputi poin a) - e) pada maksud dan tujuan.
  2. Informasi mengenai kemungkinan adanya nyeri dan pilihan tata laksananya diberikan kepada pasien yang menerima terapi/prosedur/pemeriksaan terencana yang sudah dapat diprediksi menimbulkan rasa nyeri.
  3. Pasien dan keluarga mendapatkan edukasi mengenai pengelolaan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.
  4. Staf rumah sakit mendapatkan pelatihan mengenai cara melakukan edukasi bagi pengelolaan nyeri.

e. Pelayanan menjelang akhir hayat

1. Standar PAP 5

Rumah sakit memberikan asuhan pasien menjelang akhir kehidupan dengan memperhatikan kebutuhan pasien dan keluarga, mengoptimalkan kenyamanan dan martabat pasien, serta mendokumentasikan dalam rekam medis.

2. Maksud dan Tujuan PAP 5

Skrining dilakukan untuk menetapkan bahwa kondisi pasien masuk dalam fase menjelang ajal. Selanjutnya, PPA melakukan pengkajian menjelang akhir kehidupan yang bersifat individual untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien dan keluarganya. Pengkajian pada pasien menjelang akhir kehidupan harus menilai kondisi pasien seperti:

  1. Manajemen gejala dan respons pasien, termasuk mual, kesulitan bernapas, dan nyeri.
  2. Faktor yang memperparah gejala fisik.
  3. Orientasi spiritual pasien dan keluarganya, termasuk keterlibatan dalam kelompok agama tertentu.
  4. Keprihatinan spiritual pasien dan keluarganya, seperti putus asa, penderitaan, rasa bersalah.
  5. Status psikososial pasien dan keluarganya, seperti kekerabatan, kelayakan perumahan, pemeliharaan lingkungan, cara mengatasi, reaksi pasien dan keluarganya menghadapi penyakit.
  6. Kebutuhan bantuan atau penundaan layanan untuk pasien dan keluarganya.
  7. Kebutuhan alternatif layanan atau tingkat layanan.
  8. Faktor risiko bagi yang ditinggalkan dalam hal cara mengatasi dan potensi reaksi patologis.
  9. Pasien dan keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan asuhan.

3. Elemen Penilaian PAP 5

  1. Rumah sakit menerapkan pengkajian pasien menjelang akhir kehidupan dan dapat dilakukan pengkajian ulang sampai pasien yang memasuki fase akhir kehidupannya, dengan memperhatikan poin 1) – 9) pada maksud dan tujuan.
  2. Asuhan menjelang akhir kehidupan ditujukan terhadap kebutuhan psikososial, emosional, kultural dan spiritual pasien dan keluarganya.

5. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)

Gambaran Umum

Tindakan anestesi, sedasi, dan intervensi bedah merupakan proses yang kompleks dan sering dilaksanakan di rumah sakit. Hal tersebut memerlukan:

  1. Pengkajian pasien yang lengkap dan menyeluruh;
  2. Perencanaan asuhan yang terintegrasi;
  3. Pemantauan yang terus menerus;
  4. Transfer ke ruang perawatan berdasar atas kriteria tertentu;
  5. Rehabilitasi; dan
  6. Transfer ke ruangan perawatan dan pemulangan.

Anestesi dan sedasi umumnya merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dari sedasi minimal hingga anastesi penuh. Tindakan sedasi ditandai dengan hilangnya refleks pertahanan jalan nafas secara perlahan seperti batuk dan tersedak. Karena respon pasien terhadap tindakan sedasi dan anestesi berbeda-beda secara individu dan memberikan efek yang panjang, maka prosedur tersebut harus dilakukan pengelolaan yang baik dan terintegrasi. Bab ini tidak mencakup pelayanan sedasi di ICU untuk penggunaan ventilator dan alat invasive lainnya.

Karena tindakan bedah juga merupakan tindakan yang berisiko tinggi maka harus direncanakan dan dilaksanakan secara hati-hati. Rencana prosedur operasi dan asuhan pascaoperasi dibuat berdasar atas pengkajian pasien dan didokumentasikan. Bila rumah sakit memberikan pelayanan pembedahan dengan pemasangan implant, maka harus dibuat laporan jika terjadi ketidak berfungsinya alat tersebut dan proses tindak lanjutnya.

Standar pelayanan anestesi dan bedah berlaku di area manapun dalam rumah sakit yang menggunakan anestesi, sedasi ringan, sedang dan dalam, dan juga pada tempat dilaksanakannya prosedur pembedahan dan tindakan invasif lainnya yang membutuhkan persetujuan tertulis (informed consent). Area ini meliputi ruang operasi rumah sakit, rawat sehari (ODC), poliklinik gigi, poliklinik rawat jalan, endoskopi, radiologi, gawat darurat, perawatan intensif, dan tempat lainnya.

Fokus pada standard ini mencakup:

  1. Pengorganisasian dan pengelolaan pelayanan anastesi dan sedasi.
  2. Pelayanan sedasi.
  3. Pelayanan anastesi.
  4. Pelayanan pembedahan.

a. Pengorganisasian dan pengelolaan pelayanan anastesi dan sedasi

1. Standar PAB 1

Rumah sakit menerapkan pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kapasitas pelayanan, standar profesi dan perundang undangan yang berlaku.

2. Maksud dan Tujuan PAB 1

Anestesi dan sedasi diartikan sebagai satu alur layanan berkesinambungan mulai dari sedasi minimal sampai anestesi dalam. Anestesi dan sedasi menyebabkan refleks proteksi jalan nafas dapat menghilang sehingga pasien berisiko untuk terjadi sumbatan jalan nafas dan aspirasi cairan lambung. Anestesi dan sedasi adalah proses kompleks sehingga harus diintegrasikan ke dalam rencana asuhan. Anestesi dan sedasi membutuhkan pengkajian lengkap dan komprehensif serta pemantaun pasien secara terus menerus.

Rumah sakit mempunyai suatu sistem untuk pelayanan anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam untuk melayani kebutuhan pasien oleh PPA berdasarkan kewenangan klinis yang diberikan kepadanya, termasuk juga sistim penanganan bila terjadi kegawat daruratan selama tindakan sedasi. Pelayanan anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam (termasuk layanan yang diperlukan untuk kegawatdaruratan) tersedia 24 jam 7 (tujuh) hari.

3. Elemen Penilaian PAB 1

  1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi pelayanan anestesi dan sedasi dan pembedahan meliputi poin a) – c) pada gambaran umum.
  2. Pelayanan anestesi dan sedasi yang telah diberikan dapat memenuhi kebutuhan pasien.
  3. Pelayanan anestesi dan sedasi tersedia selama 24 (dua puluh empat) jam 7 (tujuh) hari sesuai dengan kebutuhan pasien.

4. Standar PAB 2

Rumah sakit menetapkan penanggung jawab pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam adalah seorang dokter anastesi yang kompeten.

5. Maksud dan Tujuan PAB 2

Pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam berada dibawah tanggung jawab seorang dokter anastesi yang kompeten sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tanggung jawab pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam tersebut meliputi:

  1. Mengembangkan, menerapkan, dan menjaga regulasi;
  2. Melakukan pengawasan administratif;
  3. Melaksanakan program pengendalian mutu yang dibutuhkan; dan
  4. Memantau dan mengevaluasi pelayanan sedasi dan anestesi.

6. Elemen Penilaian PAB 2

  1. Rumah sakit telah menerapkan pelayanan anestesi dan sedasi secara seragam di seluruh area seusai regulasi yang ditetapkan.
  2. Rumah sakit telah menetapkan penanggung jawab pelayanan anestesi dan sedasi adalah seorang dokter anastesi yang kompeten yang melaksanakan tanggung jawabnya meliputi poin a) – d) pada maksud dan tujuan.
  3. Bila memerlukan profesional pemberi asuhan terdapat PPA dari luar rumah sakit untuk memberikan pelayanan anestesi dan sedasi, maka ada bukti rekomendasi dan evaluasi pelayanan dari penanggung jawab pelayanan anastesi dan sedasi terhadap PPA tersebut.

b. Pelayanan sedasi

1. Standar PAB 3

Pemberian sedasi moderat dan dalam dilakukan sesuai dengan regulasi dan ditetapkan rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan PAB 3

Prosedur pemberian sedasi moderat dan dalam yang diberikan secara intravena tidak bergantung pada berapa dosisnya. oleh karena prosedur pemberian sedasi seperti

layaknya anestesi mengandung risiko potensial pada pasien. Pemberian sedasi pada pasien harus dilakukan seragam dan sama di semua tempat di rumah sakit termasuk unit di luar kamar operasi.

Keseragaman dalam pelayanan sedasi sesuai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh tenaga medis yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis untuk melakukan sedasi moderat dan dalam meliputi:

  1. Area-area di dalam rumah sakit tempat sedasi moderat dan dalam dapat dilakukan;
  2. Kualifikasi staf yang memberikan sedasi;
  3. Persetujuan medis (informed consent) untuk prosedur maupun sedasinya;
  4. Perbedaan populasi anak, dewasa, dan geriatri ataupun pertimbangan khusus lainnya;
  5. Peralatan medis dan bahan yang digunakan sesuai dengan populasi yang diberikan sedasi moderat atau dalam; dan
  6. Cara memantau.

3. Elemen Penilaian PAB 3

  1. Rumah sakit telah melaksanakan pemberian sedasi moderat dan dalam yang seragam di semua tempat di rumah sakit sesuai dengan poin a) - f) pada maksud dan tujuan.
  2. Peralatan dan perbekalan gawat darurat tersedia di tempat dilakukan sedasi moderat dan dalam serta dipergunakan sesuai jenis sedasi, usia, dan kondisi pasien.
  3. PPA yang terlatih dan berpengalaman dalam memberikan bantuan hidup lanjut (advance) harus selalu mendampingi dan siaga selama tindakan sedasi dikerjakan.

4. Standar PAB 3.1

Tenaga medis yang kompeten dan berwenang memberikan pelayanan sedasi moderat dan dalam serta melaksanakan pemantauan.

5. Maksud dan Tujuan PAB 3.1

Kualifikasi tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis untuk melakukan sedasi moderat dan dalam terhadap pasien sangat penting. Pemahaman metode pemberikan sedasi moderat dan dalam terkait kondisi pasien dan jenis tindakan yang diberikan dapat meningkatkan toleransi pasien terhadap rasa tidak nyaman, nyeri, dan atau risiko komplikasi.

Komplikasi terkait pemberian sedasi terutama gangguan jantung dan paru. Oleh sebab itu, diperlukan Sertifikasi bantuan hidup lanjut. Sebagai tambahan, pengetahuan farmakologi zat sedasi yang digunakan termasuk zat reversal mengurangi risiko terjadi kejadian yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis memberikan sedasi moderat dan dalam harus kompeten dalam hal:

  1. Teknik dan berbagai cara sedasi;
  2. Farmakologi obat sedasi dan penggunaaan zat reversal (antidot);
  3. Persyaratan pemantauan pasien; dan
  4. Bertindak jika ada komplikasi.

Tenaga medis yang melakukan prosedur sedasi harus mampu bertanggung jawab melakukan pemantauan terhadap pasien. PPA yang kompeten melakukan prosedur sedasi, seperti dokter spesialis anestesi atau perawat yang terlatih yang bertanggung jawab melakukan pemantauan berkesinambungan terhadap parameter fisiologis pasien dan membantu tindakan resusitasi. PPA yang bertanggung jawab melakukan pemantauan harus kompeten dalam: a. Pemantauan yang diperlukan; b. Bertindak jika ada komplikasi; c. Penggunaan zat reversal (antidot); dan d. Kriteria pemulihan.

6. Elemen Penilaian PAB 3.1

  1. Tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis memberikan sedasi moderat dan dalam harus kompeten dalam poin a) – d) pada maksud dan tujuan.
  2. Profesional pemberi asuhan (PPA) yang bertanggung jawab melakukan pemantauan selama pelayanan sedasi moderat dan dalam harus kompeten meliputi poin a) – d) pada maksud dan tujuan.
  3. Kompetensi semua PPA yang terlibat dalam sedasi moderat dan dalam tercatat di file kepegawaian.

7. Standar PAB 3.2

Rumah sakit menetapkan panduan praktik klinis untuk pelayanan sedasi moderat dan dalam

8. Maksud dan Tujuan PAB 3.2

Tingkat kedalaman sedasi berlangsung dalam suatu kesinambungan mulai ringan sampai sedasi dalam dan pasien dapat berubah dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Banyak faktor berpengaruh terhadap respons pasien dan hal ini memengaruhi tingkat sedasi pasien. Faktor-faktor tersebut termasuk obat-obatan yang diberikan, rute pemberian obat dan dosis, usia pasien (anak, dewasa, serta lanjut usia), dan riwayat kesehatan pasien. Misalnya, pasien memiliki riwayat gangguan organ utama maka kemungkinan obat yang digunakan pasien dapat berinteraksi dengan obat sedasi, alergi obat, efek samping obat sedasi atau anastesi sebelumnya. Jika status fisik pasien berisiko tinggi maka dipertimbangkan pemberian tambahan kebutuhan klinis lainnya dan diberikan tindakan sedasi yang sesuai.

Pengkajian prasedasi membantu mengidentifikasi faktor yang dapat yang berpengaruh pada respons pasien terhadap tindakan sedasi dan juga dapat diidentifikasi temuan-temuan penting dari hasil pemantaun selama dan sesudah sedasi.

Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi meliputi:

  1. Mengidentifikasi masalah saluran pernapasan yang dapat memengaruhi jenis sedasi yang digunakan;
  2. Mengevaluasi pasien terhadap risiko tindakan sedasi;
  3. Merencanakan jenis sedasi dan tingkat kedalaman sedasi yang diperlukan pasien berdasarkan prosedur/tindakan yang akan dilakukan;
  4. Pemberian sedasi secara aman; dan
  5. Menyimpulkan temuan hasil pemantauan pasien selama prosedur sedasi dan pemulihan.

Cakupan dan isi pengkajian dibuat berdasar atas Panduan Praktik Klinis dan kebijakan pelayanan anastesi dan sedasi yang ditetapkan oleh rumah sakit.

Pasien yang sedang menjalani tindakan sedasi dipantau tingkat kesadarannya, ventilasi dan status oksigenasi, variabel hemodinamik berdasar atas jenis obat sedasi yang diberikan, jangka waktu sedasi, jenis kelamin, dan kondisi pasien. Perhatian khusus ditujukan pada kemampuan pasien mempertahankan refleks protektif, jalan napas yang teratur dan lancar, serta respons terhadap stimulasi fisik dan perintah verbal. Seorang yang kompeten bertanggung jawab melakukan pemantauan status fisiologis pasien secara terus menerus dan membantu memberikan bantuan resusitasi sampai pasien pulih dengan selamat.

Setelah tindakan selesai dikerjakan, pasien masih tetap berisiko terhadap komplikasi karena keterlambatan absorsi obat sedasi, dapat terjadi depresi pernapasan, dan kekurangan stimulasi akibat tindakan.

Ditetapkan kriteria pemulihan untuk mengidentifikasi pasien yang sudah pulih kembali dan atau siap untuk ditransfer/dipulangkan.

9. Elemen Penilaian PAB 3.2

  1. Rumah sakit telah menerapkan pengkajian prasedasi dan dicatat dalam rekam medis meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.
  2. Rumah sakit telah menerapakn pemantauan pasien selama dilakukan pelayanan sedasi moderat dan dalam oleh PPA yang kompeten dan di catat di rekam medik.
  3. Kriteria pemulihan telah digunakan dan didokumentasikan untuk mengidentifikasi pasien yang sudah pulih kembali dan atau siap untuk ditransfer/dipulangkan.

c. Pelayanan anastesi

1. Standar PAB 4

Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis pelayanan anestesi melakukan asesmen pra-anestesi dan prainduksi.

2. Maksud dan Tujuan PAB 4

Oleh karena anestesi memiliki risiko tinggi maka pemberiannya harus direncanakan dengan hati-hati. Pengkajian pra-anestesi adalah dasar perencanaan ini untuk mengetahui temuan pemantauan selama anestesi dan pemulihan yang mungkin bermakna, dan juga untuk menentukan obat analgesi apa untuk pascaoperasi.

Pengkajian pra-anestesi juga memberikan informasi yang diperlukan untuk:

  1. Mengetahui masalah saluran pernapasan;
  2. Memilih anestesi dan rencana asuhan anestesi;
  3. Memberikan anestesi yang aman berdasar atas pengkajian pasien, risiko yang ditemukan, dan jenis tindakan;
  4. Menafsirkan temuan pada waktu pemantauan selama anestesi dan pemulihan; dan
  5. Memberikan informasi obat analgesia yang akan digunakan pascaoperasi.

Dokter spesialis anestesi akan melakukan pengkajian pra- anestesi yang dapat dilakukan sebelum masuk rawat inap atau sebelum dilakukan tindakan bedah atau sesaat menjelang operasi, misalnya pada pasien darurat.

Asesmen prainduksi terpisah dari asesmen pra-anestesi, karena difokuskan pada stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk tindakan anestesi, dan berlangsung sesaat sebelum induksi anestesi. Jika anestesi diberikan secara darurat maka pengkajian pra-anestesi dan prainduksi dapat dilakukan berurutan atau simultan, namun dicatat secara terpisah.

3. Elemen Penilaian PAB 4

  1. Pengkajian pra-anestesi telah dilakukan untuk setiap pasien yang akan dilakukan anestesi.
  2. Pengkajian prainduksi telah dilakukan secara terpisah untuk mengevaluasi ulang pasien segera sebelum induksi anestesi.
  3. Kedua pengkajian tersebut telah dilakukan oleh PPA yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

4. Standar PAB 5

Risiko, manfaat, dan alternatif tindakan sedasi atau anestesi didiskusikan dengan pasien dan keluarga atau orang yang dapat membuat keputusan mewakili pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Maksud dan Tujuan PAB 5

Rencana tindakan sedasi atau anastesi harus diinformasikan kepada pasien, keluarga pasien, atau mereka yang membuat keputusan mewakili pasien tentang jenis sedasi, risiko, manfaat, dan alternatif terkait tindakan tersebut. Informasi tersebut sebagai bagian dari proses mendapat persetujuan tindakan kedokteran untuk tindakan sedasi atau anestesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Elemen Penilaian PAB 5

  1. Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi kepada pasien dan atau keluarga atau pihak yang akan memberikan keputusan tentang jenis, risiko, manfaat, alternatif dan analagsia pasca tindakan sedasi atau anastesi.
  2. Pemberian informasi dilakukan oleh dokter spesialis anastesi dan didokumentasikan dalam formulir persetujuan tindakan anastesi/sedasi.

7. Standar PAB 6

Status fisiologis setiap pasien selama tindakan sedasi atau anestesi dipantau sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

8. Maksud dan Tujuan PAB 6

Pemantauan fisiologis akan memberikan informasi mengenai status pasien selama tindakan anestesi (umum, spinal, regional dan lokal) dan masa pemulihan. Hasil pemantauan akan menjadi dasar untuk mengambil keputusan intraoperasi yang penting dan juga menjadi dasar pengambilan keputusan pascaoperasi seperti pembedahan ulang, pemindahan ke tingkat perawatan lain, atau pemulangan pasien.

Informasi hasil pemantauan akan memandu perawatan medis dan keperawatan serta mengidentifikasi kebutuhan diagnostik dan layanan lainnya. Temuan pemantauan dimasukkan ke dalam rekam medis pasien. Metode pemantauan bergantung pada status praanestesi pasien, pemilihan jenis tindakan anestesi, dan kerumitan pembedahan atau prosedur lainnya yang dilakukan selama tindakan anestesi. Meskipun demikian, pemantauan menyeluruh selama tindakan anestesi dan pembedahan dalam semua kasus harus sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan kebijakan rumah sakit. Hasilpemantauan didokumentasikan dalam rekam medis.

9. Elemen Penilaian PAB 6

  1. Frekuensi dan jenis pemantauan selama tindakan anestesi dan pembedahan didasarkan pada status praanestesi pasien, anestesi yang digunakan, serta prosedur pembedahan yang dilakukan.
  2. Pemantauan status fisiologis pasien sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

10. Standar PAB. 6.1

Status pasca anestesi pasien dipantau dan didokumentasikan, dan pasien dipindahkan/ditransfer/dipulangkan dari area pemulihan oleh PPA yang kompeten dengan menggunakan kriteria baku yang ditetapkan rumah sakit.

11. Maksud dan Tujuan PAB 6.1

Pemantauan selama anestesi menjadi dasar pemantauan saat pemulihan pascaanestesi. Pemantauan pasca anestesi dapat dilakukan di ruang rawat intensif atau di ruang pulih. Pemantauan pasca anestesi di ruang rawat intensif bisa direncanakan sejak awal sebelum tindakan operasi atau sebelumnya tidak direncanakan berubah dilakukan pemantauan di ruang intensif atas hasil keputusan PPA anestesi dan atau PPA bedah berdasarkan penilaian selama prosedur anestesi dan atau pembedahan.

Bila pemantauan pasca anestesi dilakukan di ruang intensif maka pasien langsung di transfer ke ruang rawat intensif dan tatalaksana pemantauan selanjutnya secara berkesinambungan dan sistematis berdasarkan instruksi DPJP di ruang rawat intensif serta didokumentasikan. Bila pemantauan dilakukan di ruang pulih maka pasien dipantau secara berkesinambungan dan sistematis serta didokumentasikan.

Pemindahan pasien dari area pemulihan pascaanestesi atau penghentian pemantauan pemulihan dilakukan dengan salah satu berdasarkan beberapa alternatif sebagai berikut:

  1. pasien dipindahkan (atau pemantauan pemulihan dihentikan) oleh seorang ahli anestesi yang kompeten.
  2. pasien dipindahkan (atau pemantauan pemulihan dihentikan) oleh seorang perawat atau penata anastesi yang kompeten berdasarkan kriteria pascaanestesi yang ditetapkan oleh rumah sakit, tercatat dalam rekam medis bahwa kriteria tersebut terpenuhi.
  3. pasien dipindahkan ke unit yang mampu menyediakan perawatan pascaanestesi misalnya di unit perawatan intensif.
  4. Waktu masuk dan keluar dari ruang pemulihan (atau waktu mulai dan dihentikannya pemantauan pemulihan) didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

12. Elemen Penilaian PAB 6.1

  1. Rumah sakit telah menerapkan pemantauan pasien pascaanestesi baik di ruang intensif maupun di ruang pemulihan dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
  2. Pasien dipindahkan dari unit pascaanestesi (atau pemantauan pemulihan dihentikan) sesuai dengan kriteria baku yang ditetapkan dengan alternatif a) - c) pada maksud dan tujuan.
  3. Waktu dimulai dan dihentikannya proses pemulihan dicatat di dalam rekam medis pasien.

d. Pelayanan pembedahan

1. Standar PAB 7

Asuhan setiap pasien bedah direncanakan berdasar atas hasil pengkajian dan dicatat dalam rekam medis pasien.

2. Maksud dan Tujuan PAB 7

Karena prosedur bedah mengandung risiko tinggi maka pelaksanaannya harus direncanakan dengan saksama. Pengkajian prabedah menjadi acuan untuk menentukan jenis tindakan bedah yang tepat dan mencatat temuan penting. Hasil pengkajian prabedah memberikan informasi tentang:

  1. Tindakan bedah yang sesuai dan waktu pelaksanaannya;
  2. Melakukan tindakan dengan aman; dan
  3. Menyimpulkan temuan selama pemantauan.

Pemilihan teknik operasi bergantung pada riwayat pasien, status fisik, data diagnostik, serta manfaat dan risiko tindakan yang dipilih. Untuk pasien yang saat masuk rumah sakit langsung dilayani oleh dokter bedah, pengkajian prabedah menggunakan formulir pengkajian awal rawat inap. Sedangkan pasien yang dikonsultasikan di tengah perawatan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) lain dan diputuskan operasi maka pengkajian prabedah dapat dicatat di rekam medis sesuai kebijakan rumah sakit. Hal ini termasuk diagnosis praoperasi dan pascaoperasi serta nama tindakan operasi.

3. Elemen Penilaian PAB 7

  1. Rumah sakit telah menerapkan pengkajian prabedah pada pasien yang akan dioperasi oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebelum operasi dimulai.
  2. Diagnosis praoperasi dan rencana prosedur/tindakan operasi berdasarkan hasil pengkajian prabedah dan didokumentasikan di rekam medik.

4. Standar PAB 7.1

Risiko, manfaat dan alternatif tindakan pembedahan didiskusikan dengan pasien dan atau keluarga atau pihak lain yang berwenang yang memberikan keputusan.

5. Maksud dan Tujuan PAB 7.1

Pasien, keluarga, dan mereka yang memutuskan mendapatkan penjelasan untuk berpartisipasi dalam keputusan asuhan pasien dengan memberikan persetujuan (consent).

Untuk memenuhi kebutuhan pasien maka penjelasan tersebut diberikan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang dalam keadaan darurat dapat dibantu oleh dokter di unit gawat darurat. Informasi yang disampaikan meliputi:

  1. Risiko dari rencana tindakan operasi;
  2. Manfaat dari rencana tindakan operasi;
  3. Memungkinan komplikasi dan dampak;
  4. Pilihan operasi atau nonoperasi (alternatif) yang tersedia untuk menangani pasien;
  5. Sebagai tambahan jika dibutuhkan darah atau produk darah, sedangkan risiko dan alternatifnya didiskusikan.

6. Elemen Penilaian PAB 7.1

  1. Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi kepada pasien dan atau keluarga atau pihak yang akan memberikan keputusan tentang jenis, risiko, manfaat, komplikasi dan dampak serta alternatif prosedur/teknik terkait dengan rencana operasi (termasuk pemakaian produk darah bila diperlukan) kepada pasien dan atau keluarga atau mereka yang berwenang memberi keputusan.
  2. Pemberian informasi dilakukan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) didokumentasikan dalam formulir persetujuan tindakan kedokteran.

7. Standar PAB 7.2

Informasi yang terkait dengan operasi dicatat dalam laporan operasi dan digunakan untuk menyusun rencana asuhan lanjutan.

8. Maksud dan Tujuan PAB 7.2

Asuhan pasien pascaoperasi bergantung pada temuan dalam operasi. Hal yang terpenting adalah semua tindakan dan hasilnya dicatat di rekam medis pasien. Laporan ini dapat dibuat dalam bentuk format template atau dalam bentuk laporan operasi tertulis sesuai dengan regulasi rumah sakit. Laporan yang tercatat tentang operasi memuat paling sedikit:

  1. Diagnosis pascaoperasi;
  2. Nama dokter bedah dan asistennya;
  3. Prosedur operasi yang dilakukan dan rincian temuan;
  4. Ada dan tidak ada komplikasi;
  5. Spesimen operasi yang dikirim untuk diperiksa;
  6. Jumlah darah yang hilang dan jumlah yang masuk lewat transfusi;
  7. Nomor pendaftaran alat yang dipasang (implan), (bila mempergunakan)
  8. Tanggal, waktu, dan tanda tangan dokter yang bertanggung jawab.

9. Elemen Penilaian PAB 7.2

  1. Laporan operasi memuat poin a) – h) pada maksud dan tujuan serta dicatat pada formular/template yang ditetapkan rumah sakit.
  2. Laporan operasi telah tersedia segera setelah operasi selesai dan sebelum pasien dipindah ke ruang lain untuk perawatan selanjutnya.

10. Standar PAB. 7.3

Rencana asuhan pascaoperasi disusun, ditetapkan dan dicatat dalam rekam medis.

11. Maksud dan Tujuan PAB 7.3

Kebutuhan asuhan medis, keperawatan, dan professional pemberi asuhan (PPA) lainnya sesuai dengan kebutuhan setiap pasien pascaoperasi berbeda bergantung pada tindakan operasi dan riwayat kesehatan pasien. Beberapa pasien mungkin membutuhkan pelayanan dari profesional pemberi asuhan (PPA) lain atau unit lain seperti rehabilitasi medik atau terapi fisik. Penting membuat rencana asuhan tersebut termasuk tingkat asuhan, metode asuhan, tindak lanjut monitor atau tindak lanjut tindakan, kebutuhan obat, dan asuhan lain atau tindakan serta layanan lain. Rencana asuhan pascaoperasi dapat dimulai sebelum tindakan operasi berdasarkan asesmen kebutuhan dan kondisi pasien serta jenis operasi yang dilakukan. Rencana asuhan pasca operasi juga memuat kebutuhan pasien yang segera. Rencana asuhan dicacat di rekam medik pasien dalam waktu 24 jam dan diverifikasi oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan tim klinis untuk memastikan kontuinitas asuhan selama waktu pemulihan dan masa rehabilitasi.

12. Elemen Penilaian PAB 7.3

  1. Rencana asuhan pascaoperasi dicatat di rekam medis pasien dalam waktu 24 jam oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).
  2. Rencana asuhan pascaoperasi termasuk rencana asuhan medis, keperawatan, oleh PPA lainnya berdasar atas kebutuhan pasien.
  3. Rencana asuhan pascaoperasi diubah berdasarkan pengkajian ulang pasien.

13. Standar PAB 7.4

Perawatan bedah yang mencakup implantasi alat medis direncanakan dengan pertimbangan khusus tentang bagaimana memodifikasi proses dan prosedur standar.

14. Maksud dan Tujuan PAB 7.4

Banyak tindakan bedah menggunakan implan yang menetap/permanen maupun temporer antara lain panggul/lutut prostetik, pacu jantung, pompa insulin. Tindakan operasi seperti ini mengharuskan tindakan operasi rutin yang dimodifikasi dgn mempertimbangkan faktor khusus seperti:

  1. Pemilihan implan berdasarkan peraturan perundangan.
  2. Modifikasi surgical safety checklist utk memastikan ketersediaan implan di kamar operasi dan pertimbangan khusus utk penandaan lokasi operasi.
  3. Kualifikasi dan pelatihan setiap staf dari luar yang dibutuhkan untuk pemasangan implan (staf dari pabrik/perusahaan implan untukmengkalibrasi).
  4. Proses pelaporan jika ada kejadian yang tidak diharapkan terkait implant.
  5. Proses pelaporan malfungsi implan sesuai dgn standar/aturan pabrik.
  6. Pertimbangan pengendalian infeksi yang khusus.
  7. Instruksi khusus kepada pasien setelah operasi.
  8. kemampuan penelusuran (traceability) alat jika terjadi penarikan kembali (recall) alat medis misalnya dengan menempelkan barcode alat di rekam medis.

15. Elemen Penilaian PAB 7.4

  1. Rumah sakit telah mengidentifikasi jenis alat implan yang termasuk dalam cakupan layanannya.
  2. Kebijakan dan praktik mencakup poin a) – h) pada maksud dan tujuan.
  3. Rumah sakit mempunyai proses untuk melacak implan medis yang telah digunakan pasien.
  4. Rumah sakit menerapkan proses untuk menghubungi dan memantau pasien dalam jangka waktu yang ditentukan setelah menerima pemberitahuan adanya penarikan/recall suatu implan medis.

6. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)

Gambaran Umum

Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat merupakan bagian penting dalam pelayanan pasien. Pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan di rumah sakit harus mampu menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan pasien.

Standar Pelayanan Kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP), serta pelayanan farmasi klinik. Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
  2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
  3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Pada bab ini penilaian terhadap pelayananan kefarmasian difokuskan pada sediaan farmasi dan BMHP.

Obat merupakan komponen penting dalam pengobatan simptomatik, preventif, kuratif, paliatif dan rehabilitatif terhadap penyakit dan berbagai kondisi. Proses penggunaan obat yang mencakup peresepan, penyiapan (dispensing), pemberian dan pemantauan dilakukan secara multidisipliner dan terkoordinasi sehingga dapat menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif.

Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit dirancang, diimplementasikan, dan dilakukan peningkatan mutu secara berkesinambungan terhadap proses-proses: pemilihan, perencanaan dan pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan, penyalinan (transcribing), penyiapan, pemberian dan pemantauan terapi obat.

Kejadian kesalahan obat (medication error) merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit harus berupaya mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan membuat sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).

Masalah resistansi antimikroba merupakan masalah global yang disebabkan penggunaan antimikroba yang berlebihan dan tidak tepat. Untuk mengurangi laju resistansi antimikroba dan meningkatkan patient outcome, maka rumah sakit harus melaksanakan program pengendalian resistansi antimikroba sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu program kerja yang harus dilakukan adalah optimalisasi penggunaan antimikroba secara bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba (PGA).

a. Pengorganisasian

1. Standar PKPO 1

Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang meliputi:

  1. Perencanaan sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat.
  2. Pemilihan.
  3. Perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi dan BMHP.
  4. Penyimpanan.
  5. Pendistribusian.
  6. Peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan.
  7. Penyiapan (dispensing).
  8. Pemberian.
  9. Pemantauan terapi obat.

Untuk memastikan efektivitas sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, maka rumah sakit melakukan kajian sekurang-kurangnya sekali setahun. Kajian tahunan dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk jumlah laporan insiden kesalahan obat serta upaya untuk menurunkannya.

Pelaksanaan kajian melibatkan Komite/Tim Farmasi dan Terapi, Komite/ Tim Penyelenggara Mutu, serta unit kerja terkait. Kajian bertujuan agar rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas perbaikan sistem berkelanjutan. Kajian meliputi proses-proses poin a) sampai dengan i), termasuk insiden kesalahan obat (medication error).

Pelayanan kefarmasian dipimpin oleh apoteker yang memiliki izin dan kompeten dalam melakukan supervisi semua aktivitas pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit. Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat bukan hanya tanggung jawab apoteker, tetapi juga staf lainnya yang terlibat, misalnya dokter, perawat, tenaga teknis kefarmasian, staf non klinis. Struktur organisasi dan tata hubungan kerja operasional pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit mengacu pada peraturan perundang-undangan.

Rumah sakit harus menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan staf yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, misalnya informasi tentang dosis, interaksi obat, efek samping obat, stabilitas dan kompatibilitas dalam bentuk cetak dan/atau elektronik.

3. Elemen Penilaian PKPO 1

  1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk pengorganisasiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Rumah sakit memiliki bukti seluruh apoteker memiliki izin dan kompeten, serta telah melakukan supervisi pelayanan kefarmasian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan.
  3. Rumah sakit memiliki bukti kajian sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang dilakukan setiap tahun.
  4. Rumah sakit memiliki sumber informasi obat untuk semua staf yang terlibat dalam penggunaan obat.

b. Pemilihan, Perencanaan, dan Pengadaan

1. Standar PKPO 2

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan formularium yang digunakan untuk peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan. Obat dalam formularium senantiasa tersedia di rumah sakit.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 2

Rumah sakit menetapkan formularium obat mengacu pada peraturan perundang-undangan. Formularium ini didasarkan atas misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan yang diberikan. Penyusunan formularium merupakan suatu proses kolaboratif mempertimbangkan kebutuhan, keselamatan pasien dan aspek biaya.

Formularium harus dijadikan acuan dan dipatuhi dalam peresepan dan pengadaan obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi melakukan evaluasi terhadap formularium rumah sakit sekurang-kurangnya setahun sekali dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan biaya. Rumah sakit merencanakan kebutuhan obat, dan BMHP dengan baik agar tidak terjadi kekosongan yang dapat menghambat pelayanan.

Apabila terjadi kekosongan, maka tenaga kefarmasian harus menginformasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA) serta saran substitusinya. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengadaan sediaan farmasi dan BMHP yang melibatkan apoteker untuk memastikan proses berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Elemen Penilaian PKPO 2

  1. Rumah sakit telah memiliki proses penyusunan formularium rumah sakit secara kolaboratif.
  2. Rumah sakit melakukan pemantauan kepatuhan terhadap formularium baik dari persediaan maupun penggunaannya.
  3. Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap formularium sekurang-kurangnya setahun sekali berdasarkan informasi tentang efektivitas, keamanan dan biaya.
  4. Rumah sakit melakukan pelaksanaan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi, dan BMHP.
  5. Rumah sakit melakukan pengadaan sediaan farmasi, dan BMHP melibatkan apoteker untuk memastikan proses berjalan sesuai peraturan perundang- undangan.

c. Penyimpanan

1. Standar PKPO 3

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar dan aman sesuai peraturan perundang-undang dan standar profesi.

2. Standar PKPO 3.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan obat atau produk yang memerlukan penanganan khusus, misalnya obat dan bahan berbahaya, radioaktif, obat penelitian, produk nutrisi parenteral, obat/BMHP dari program/donasi sesuai peraturan perundang-undangan.

3. Standar PKPO 3.2

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan obat, dan BMHP untuk kondisi emergensi yang disimpan di luar Instalasi Farmasi untuk memastikan selalu tersedia, dimonitor dan aman.

4. Standar PKPO 3.3

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penarikan kembali (recall) dan pemusnahan sediaan farmasi, BMHP dan implan sesuai peraturan perundang- undangan.

5. Maksud dan Tujuan PKPO 3, PKPO 3.1, PKPO 3.2, PKPO 3.3

Rumah sakit mempunyai ruang penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta memperhatikan persyaratan penyimpanan dari produsen, kondisi sanitasi, suhu, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan memiliki system keamanan penyimpanan yang bertujuan untuk menjamin mutu dan keamanan produk serta keselamatan staf.

Beberapa sediaan farmasi harus disimpan dengan cara khusus, yaitu:

  1. Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan sesuai sifat dan risiko bahan agar dapat mencegah staf dan lingkungan dari risiko terpapar bahan berbahaya dan beracun, atau mencegah terjadinya bahaya seperti kebakaran.
  2. Narkotika dan psikotropika harus disimpan dengan cara yang dapat mencegah risiko kehilangan obat yang berpotensi disalahgunakan (drug abuse). Penyimpanan dan pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
  3. Elektrolit konsentrat dan elektrolit dengan konsentrasi tertentu diatur penyimpanannya agar tidak salah dalam pengambilan.
  4. Obat emergensi diatur penyimpanannya agar selalu siap pakai bila sewaktu-waktu diperlukan. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap obat, dan BMHP pada kondisi emergensi sangat menentukan penyelamatan jiwa pasien. Oleh karena itu rumah sakit harus menetapkan lokasi penempatan troli/tas/lemari/kotak berisi khusus obat, dan BMHP emergensi, termasuk di ambulans. Pengelolaan obat dan BMHP emergensi harus sama/seragam di seluruh rumah sakit dalam hal penyimpanan (termasuk tata letaknya), pemantauan dan pemeliharaannya. Rumah sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk meningkatkan ketepatan dan kecepatan pemberian obat, misalnya:
  1. Penyimpanan obat emergensi harus sudah dikeluarkan dari kotak kemasannya agar tidak menghambat kecepatan penyiapan dan pemberian obat, misalnya: obat dalam bentuk ampul atau vial.
  2. Pemisahan penempatan BMHP untuk pasien dewasa dan pasien anak.
  3. Tata letak obat yang seragam.
  4. Tersedia panduan cepat untuk dosis dan penyiapan obat.

Beberapa sediaan farmasi memiliki risiko khusus yang memerlukan ketentuan tersendiri dalam penyimpanan, pelabelan dan pengawasan penggunaannya, yaitu:

  1. Produk nutrisi parenteral dikelola sesuai stabilitas produk;
  2. Obat/bahan radioaktif dikelola sesuai sifat dan bahan radioaktif;
  3. Obat yang dibawa pasien;
  4. Obat/BMHP dari program atau bantuan pemerintah/pihak lain dikelola sesuai peraturan perundang-undangan dan pedoman; dan
  5. Obat yang digunakan untuk penelitian dikelola sesuai protokol penelitian.

Obat dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan obat harus diberi label yang memuat informasi nama, kadar/kekuatan, tanggal kedaluwarsa dan peringatan khusus untuk menghindari kesalahan dalam penyimpanan dan penggunaannya.

Apoteker melakukan supervisi secara rutin ke lokasi penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP, untuk memastikan penyimpanannya dilakukan dengan benar dan aman.

Rumah sakit harus memiliki sistem yang menjamin bahwa sediaan farmasi dan BMHP yang tidak layak pakai karena rusak, mutu substandar atau kedaluwarsa tidak digunakan serta dimusnahkan.

Obat yang sudah dibuka dari kemasan primer (wadah yang bersentuhan langsung dengan obat) atau sudah dilakukan perubahan, misalnya: dipindahkan dari wadah aslinya, sudah dilakukan peracikan, maka tanggal kedaluwarsanya (ED=Expired Date) tidak lagi mengikuti tanggal kedaluwarsa dari pabrik yang tertera di kemasan obat. Rumah sakit harus menetapkan tanggal kedaluwarsa sediaan obat tersebut (BUD=Beyond Use Date). BUD harus dicantumkan pada label obat.

Rumah sakit memiliki sistem pelaporan obat dan BMHP yang substandar (rusak) untuk perbaikan dan peningkatan mutu.

Obat yang ditarik dari peredaran (recall) dapat disebabkan mutu produk substandar atau obat berpotensi menimbulkan efek yang membahayakan pasien. Inisiatif recall dapat dilakukan oleh produsen secara sukarela atau oleh Badan POM. Rumah sakit harus memiliki sistem penarikan kembali (recall) yang meliputi identifikasi keberadaan obat yang di-recall di semua lokasi penyimpanan di rumah sakit, penarikan dari semua lokasi penyimpanan, dan pengembaliannya ke distributor. Rumah sakit memastikan bahwa proses recall dikomunikasikan dan dilaksanakan secepatnya untuk mencegah digunakannya produk yang di-recall.

6. Elemen Penilaian PKPO 3

  1. Sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar dan aman dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk, termasuk yang disimpan di luar Instalasi Farmasi.
  2. Narkotika dan psikotropika disimpan dan dilaporkan penggunaannya sesuai peraturan perundang- undangan.
  3. Rumah sakit melaksanakan supervisi secara rutin oleh apoteker untuk memastikan penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP dilakukan dengan benar dan aman.
  4. Obat dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan obat diberi label secara akurat yang terdiri atas nama zat dan kadarnya, tanggal kedaluwarsa, dan peringatan khusus.

7. Elemen Penilaian PKPO 3.1

  1. Obat yang memerlukan penanganan khusus dan bahan berbahaya dikelola sesuai sifat dan risiko bahan.
  2. Radioaktif dikelola sesuai sifat dan risiko bahan radioaktif.
  3. Obat penelitian dikelola sesuai protokol penelitian.
  4. Produk nutrisi parenteral dikelola sesuai stabilitas produk.
  5. Obat/BMHP dari program/donasi dikelola sesuai peraturan perundang-undangan dan pedoman terkait.

8. Elemen Penilaian PKPO 3.2

  1. Obat dan BMHP untuk kondisi emergensi yang tersimpan di luar Instalasi Farmasi termasuk di ambulans dikelola secara seragam dalam hal penyimpanan, pemantauan, penggantian karena digunakan, rusak atau kedaluwarsa, dan dilindungi dari kehilangan dan pencurian.
  2. Rumah sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk meningkatkan ketepatan dan kecepatan pemberian obat.

9. Elemen Penilaian PKPO 3.3

  1. Batas waktu obat dapat digunakan (beyond use date) tercantum pada label obat.
  2. Rumah sakit memiliki sistem pelaporan sediaan farmasi dan BMHP substandar (rusak).
  3. Rumah sakit menerapkan proses recall obat, BMHP dan implan yang meliputi identifikasi, penarikan, dan pengembalian produk yang di-recall.
  4. Rumah sakit menerapkan proses pemusnahan sediaan farmasi dan BMHP.

d. Peresepan

1. Standar PKPO 4

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi rekonsiliasi obat.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 4

Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin sebelum masuk rumah sakit sedang menggunakan obat baik obat resep maupun non resep. Adanya diskrepansi (perbedaan) terapi obat yang diterima pasien sebelum dirawat dan saat dirawat dapat membahayakan kesehatan pasien. Kajian sistematik yang dilakukan oleh Cochrane pada tahun 2018 menunjukkan 55,9% pasien berisiko mengalami diskrepansi terapi obat saat perpindahan perawatan (transition of care).

Untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) akibat adanya diskrepansi tersebut, maka rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan proses rekonsiliasi obat. Rekonsiliasi obat di rumah sakit adalah proses membandingkan daftar obat yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit dengan obat yang diresepkan pertama kali sejak pasien masuk, saat pindah antar unit pelayanan (transfer) di dalam rumah sakit dan sebelum pasien pulang.

Rekonsiliasi obat merupakan proses kolaboratif yang dilakukan oleh dokter, apoteker dan perawat, serta melibatkan pasien/keluarga. Rekonsiliasi obat dimulai dengan menelusuri riwayat penggunaan obat pasien sebelum masuk rumah sakit, kemudian membandingkan daftar obat tersebut dengan obat yang baru diresepkan saat perawatan. Jika ada diskrepansi, maka dokter yang merawat memutuskan apakah terapi obat yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit akan dilanjutkan atau tidak. Hasil rekonsiliasi obat didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA) terkait dan pasien/keluarga.

Kajian sistematik membuktikan bahwa rekonsiliasi obat dapat menurunkan diskrepansi dan kejadian yang tidak diharapkan terkait penggunaan obat (adverse drug event).

3. Elemen Penilaian PKPO 4

  1. Rumah sakit menerapkan rekonsiliasi obat saat pasien masuk rumah sakit, pindah antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dan sebelum pasien pulang.
  2. Hasil rekonsiliasi obat didokumentasikan di rekam medis.

4. Standar PKPO 4.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan sesuai peraturan perundang-undangan.

5. Maksud dan Tujuan PKPO 4.1

Di banyak hasil penelitian, kesalahan obat (medication error) yang tersering terjadi di tahap peresepan. Jenis kesalahan peresepan antara lain: resep yang tidak lengkap, ketidaktepatan obat, dosis, rute dan frekuensi pemberian. Peresepan menggunakan tulisan tangan berpotensi tidak dapat dibaca. Penulisan resep yang tidak lengkap dan tidak terbaca dapat menyebabkan kesalahan dan tertundanya pasien mendapatkan obat.

Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan regulasi tentang peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan yang benar, lengkap dan terbaca. Rumah sakit menetapkan dan melatih tenaga medis yang kompeten dan berwenang untuk melakukan peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan.

Untuk menghindari keragaman dan mencegah kesalahan obat yang berdampak pada keselamatan pasien, maka rumah sakit menetapkan persyaratan bahwa semua resep/permintaan obat/instruksi pengobatan harus mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat, dosis, frekuensi pemberian, rute pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Persyaratan kelengkapan lain ditambahkan disesuaikan dengan jenis resep/permintaan obat/instruksi pengobatan, misalnya:

  1. Penulisan nama dagang atau nama generik pada sediaan dengan zat aktif tunggal.
  2. Penulisan indikasi dan dosis maksimal sehari pada obat PRN (pro renata atau “jika perlu”).
  3. Penulisan berat badan dan/atau tinggi badan untuk pasien anak-anak, lansia, pasien yang mendapatkan kemoterapi, dan populasi khusus lainnya.
  4. Penulisan kecepatan pemberian infus di instruksi pengobatan.
  5. Penulisan instruksi khusus seperti: titrasi, tapering, rentang dosis. Instruksi titrasi adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinaikkan/diturunkan secara bertahap tergantung status klinis pasien. Instruksi harus terdiri dari: dosis awal, dosis titrasi, parameter penilaian, dan titik akhir penggunaan, misalnya: infus nitrogliserin, dosis awal 5 mcg/menit. Naikkan dosis 5 mcg/menit setiap 5 menit jika nyeri dada menetap, jaga tekanan darah 110-140 mmHg. Instruksi tapering down/tapering off adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat diturunkan secara bertahap sampai akhirnya dihentikan. Cara ini dimaksudkan agar tidak terjadi efek yang tidak diharapkan akibat penghentian mendadak. Contoh obat yang harus dilakukan tapering down/off: pemakaian jangka panjang kortikosteroid, psikotropika. Instruksi harus rinci dituliskan tahapan penurunan dosis dan waktunya. Instruksi rentang dosis adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinyatakan dalam rentang, misalnya morfin inj 2-4 mg IV tiap 3 jam jika nyeri. Dosis disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien.

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses untuk menangani resep/ permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan:

  1. Tidak lengkap, tidak benar dan tidak terbaca.
  2. NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike).
  3. Jenis resep khusus seperti emergensi, cito, automatic stop order, tapering dan lainnya.
  4. Secara lisan atau melalui telepon, wajib dilakukan komunikasi efektif meliputi: tulis lengkap, baca ulang (read back), dan meminta konfirmasi kepada dokter yang memberikan resep/instruksi melalui telepon dan mencatat di rekam medik bahwa sudah dilakukan konfirmasi. (Lihat standar SKP 2)

Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap penulisan resep/instruksi pengobatan yang tidak lengkap dan tidak terbaca dengan cara uji petik atau cara lain yang valid.

Daftar obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien yang mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat, dosis, rute pemberian, waktu pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Daftar ini menyertai pasien ketika dipindahkan sehingga profesional pemberi asuhan (PPA) yang merawat pasien dengan mudah dapat mengakses informasi tentang penggunaan obat pasien. Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien disertai edukasi penggunaannya agar pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan mematuhi aturan pakai yang sudah ditetapkan.

6. Elemen Penilaian PKPO 4.1

  1. Resep dibuat lengkap sesuai regulasi.
  2. Telah dilakukan evaluasi terhadap penulisan resep/instruksi pengobatan yang tidak lengkap dan tidak terbaca.
  3. Telah dilaksanaan proses untuk mengelola resep khusus seperti emergensi, automatic stop order, tapering,
  4. Daftar obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien dan menyertai pasien ketika dipindahkan/transfer.
  5. Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien disertai edukasi penggunaannya.

e. Penyiapan (Dispensing)

1. Standar PKPO 5

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi dispensing sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sesuai standar profesi dan peraturan perundang-undangan.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 5

Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian proses mulai dari diterimanya resep/permintaan obat/instruksi pengobatan sampai dengan penyerahan obat dan BMHP kepada dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga. Penyiapan obat dilakukan oleh staf yang terlatih dalam lingkungan yang aman bagi pasien, staf dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik kefarmasian untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiatnya. Untuk menghindari kesalahan pemberian obat pada pasien rawat inap, maka obat yang diserahkan harus dalam bentuk yang siap digunakan, dan disertai dengan informasi lengkap tentang pasien dan obat.

3. Elemen Penilaian PKPO 5

  1. Telah memiliki sistem distribusi dan dispensing yang sama/seragam diterapkan di rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan.
  2. Staf yang melakukan dispensing sediaan obat non steril kompeten.
  3. Staf yang melakukan dispensing sediaan obat steril non sitostatika terlatih dan kompeten.
  4. Staf yang melakukan pencampuran sitostatika terlatih dan kompeten.
  5. Tersedia fasilitas dispensing sesuai standar praktik kefarmasian.
  6. Telah melaksanakan penyerahan obat dalam bentuk yang siap diberikan untuk pasien rawat inap.
  7. Obat yang sudah disiapkan diberi etiket yang meliputi identitas pasien, nama obat, dosis atau konsentrasi, cara pemakaian, waktu pemberian, tanggal dispensing dan tanggal kedaluwarsa/beyond use date (BUD).

4. Standar PKPO 5.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengkajian resep dan telaah obat sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik profesi.

5. Maksud dan Tujuan PKPO 5.1

Pengkajian resep adalah kegiatan menelaah resep sebelum obat disiapkan, yang meliputi pengkajian aspek administratif, farmasetik dan klinis. Pengkajian resep dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang kompeten dan diberi kewenangan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan.

Pengkajian resep aspek administratif meliputi: kesesuaian identitas pasien (lihat SKP 1), ruang rawat, status pembiayaan, tanggal resep, identitas dokter penulis resep.

Pengkajian resep aspek farmasetik meliputi: nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah obat, instruksi cara pembuatan (jika diperlukan peracikan), stabilitas dan inkompatibilitas sediaan. Pengkajian resep aspek klinis meliputi:

  1. Ketepatan identitas pasien, obat, dosis, frekuensi, aturan pakai dan waktu pemberian.
  2. Duplikasi pengobatan.
  3. Potensi alergi atau hipersensitivitas.
  4. Interaksi antara obat dan obat lain atau dengan makanan.
  5. Variasi kriteria penggunaan dari rumah sakit, misalnya membandingkan dengan panduan praktik klinis, formularium nasional.
  6. Berat badan pasien dan atau informasi fisiologis lainnya.
  7. Kontraindikasi.

Dalam pengkajian resep tenaga teknis kefarmasian diberi kewenangan terbatas hanya aspek administratif dan farmasetik.

Pengkajian resep aspek klinis yang baik oleh apoteker memerlukan data klinis pasien, sehingga apoteker harus diberi kemudahan akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien.

Apoteker/tenaga teknis kefarmasian harus melakukan telaah obat sebelum obat diserahkan kepada perawat/pasien.untuk memastikan bahwa obat yang sudah disiapkan tepat:

  1. Pasien.
  2. Nama obat.
  3. Dosis dan jumlah obat.
  4. Rute pemberian.
  5. Waktu pemberian.

6. Elemen Penilaian PKPO 5.1

  1. Telah melaksanakan pengkajian resep yang dilakukan oleh staf yang kompeten dan berwenang serta didukung tersedianya informasi klinis pasien yang memadai.
  2. Telah memiliki proses telaah obat sebelum diserahkan.

f. Pemberian Obat

1. Standar PKPO 6

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian obat sesuai peraturan perundang-undangan.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 6

Tahap pemberian obat merupakan tahap akhir dalam proses penggunaan obat sebelum obat masuk ke dalam tubuh pasien. Tahap ini merupakan tahap yang kritikal ketika terjadi kesalahan obat (medication error) karena pasien akan langsung terpapar dan dapat menimbulkan cedera. Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian obat. Rumah sakit menetapkan professional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan berwenang memberikan obat sesuai peraturan perundang- undangan. Rumah sakit dapat membatasi kewenangan staf klinis dalam melakukan pemberian obat, misalnya pemberian obat anestesi, kemoterapi, radioaktif, obat penelitian.

Sebelum pemberian obat kepada pasien, dilakukan verifikasi kesesuaian obat dengan instruksi pengobatan yang meliputi:

  1. Identitas pasien.
  2. Nama obat.
  3. Dosis.
  4. Rute pemberian.
  5. Waktu pemberian.

Obat yang termasuk golongan obat high alert, harus dilakukan double-checking untuk menjamin ketepatan pemberian obat.

3. Elemen Penilaian PKPO 6

  1. Staf yang melakukan pemberian obat kompeten dan berwenang dengan pembatasan yang ditetapkan.
  2. Telah dilaksanaan verifikasi sebelum obat diberikan kepada pasien minimal meliputi: identitas pasien, nama obat, dosis, rute, dan waktu pemberian.
  3. Telah melaksanakan double checking untuk obat high alert.
  4. Pasien diberi informasi tentang obat yang akan diberikan.

4. Standar PKPO 6.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penggunaan obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit dan penggunaan obat oleh pasien secara mandiri.

5. Maksud dan Tujuan PKPO 6.1

Obat yang dibawa pasien/keluarga dari luar rumah sakit berisiko dalam hal identifikasi/keaslian dan mutu obat. Oleh sebab itu rumah sakit harus melakukan penilaian terhadap obat tersebut terkait kelayakan penggunaannya di rumah sakit. Penggunaan obat oleh pasien secara mandiri, baik yang dibawa dari luar rumah sakit atau yang diresepkan dari rumah sakit harus diketahui oleh dokter yang merawat dan dicatat di rekam medis pasien. Penggunaan obat secara mandiri harus ada proses edukasi dan pemantauan penggunaannya untuk menghindari penggunaan obat yang tidak tepat.

6. Elemen Penilaian PKPO 6.1

  1. Telah melakukan penilaian obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit untuk kelayakan penggunaannya di rumah sakit.
  2. Telah melaksanakan edukasi kepada pasien/keluarga jika obat akan digunakan secara mandiri.
  3. Telah memantau pelaksanaan penggunaan obat secara mandiri sesuai edukasi.

g. Pemantauan

1. Standar PKPO 7

Rumah sakit menerapkan pemantauan terapi obat secara kolaboratif.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 7

Untuk mengoptimalkan terapi obat pasien, maka dilakukan pemantauan terapi obat secara kolaboratif yang melibatkan profesional pemberi asuhan (PPA) dan pasien. Pemantauan meliputi efek yang diharapkan dan efek samping obat. Pemantauan terapi obat didokumentasikan di dalam catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) di rekam medis.

Rumah sakit menerapkan sistem pemantauan dan pelaporan efek samping obat untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat sesuai peraturan perundang- undangan. Efek samping obat dilaporkan ke Komite/Tim Farmasi dan Terapi. Rumah sakit melaporkan efek samping obat ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

3. Elemen Penilaian PKPO 7

  1. Telah melaksanakan pemantauan terapi obat secara kolaboratif.
  2. Telah melaksanakan pemantauan dan pelaporan efek samping obat serta analisis laporan untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat.

4. Standar PKPO 7.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses pelaporan serta tindak lanjut terhadap kesalahan obat (medication error) dan berupaya menurunkan kejadiannya.

5. Maksud dan Tujuan PKPO 7.1

Insiden kesalahan obat (medication error) merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit harus berupaya mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan membuat sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).

Insiden kesalahan obat harus dijadikan sebagai pembelajaran bagi rumah sakit agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi.

Rumah sakit menerapkan pelaporan insiden keselamatan pasien serta tindak lanjut terhadap kejadian kesalahan obat serta upaya perbaikannya. Proses pelaporan kesalahan obat yang mencakup kejadian sentinel, kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) maupun kejadian nyaris cedera (KNC), menjadi bagian dari program peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Rumah sakit memberikan pelatihan kepada staf rumah sakit tentang kesalahan obat dalam rangka upaya perbaikan dan untuk mencegah kesalahan obat, serta meningkatkan keselamatan pasien.

6. Elemen Penilaian PKPO 7.1

  1. Rumah sakit telah memiliki regulasi tentang medication safety yang bertujuan mengarahkan penggunaan obat yang aman dan meminimalkan risiko kesalahan penggunaan obat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
  2. Rumah sakit menerapkan sistem pelaporan kesalahan obat yang menjamin laporan akurat dan tepat waktu yang merupakan bagian program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
  3. Rumah sakit memiliki upaya untuk mendeteksi, mencegah dan menurunkan kesalahan obat dalam meningkatkan mutu proses penggunaan obat.
  4. Seluruh staf rumah sakit dilatih terkait kesalahan obat (medication error).

h. Program Pengendalian Resistansi Antimikroba

1. Standar PKPO 8

Rumah sakit menyelenggarakan program pengendalian resistansi antimikroba (PPRA) sesuai peraturan perundang- undangan.

2. Maksud dan Tujuan PKPO 8

Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance = AMR) telah menjadi masalah kesehatan nasional dan global. Pemberian obat antimikroba (antibiotik atau antibakteri, antijamur, antivirus, antiprotozoa) yang tidak rasional dan tidak bijak dapat memicu terjadinya resistansi yaitu ketidakmampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba sehingga penggunaan pada penanganan penyakit infeksi tidak efektif.

Meningkatnya kejadian resistansi antimikroba akibat dari penggunaan antimikroba yang tidak bijak dan pencegahan pengendalian infeksi yang belum optimal. Resistansi antimikroba di rumah sakit menyebabkan menurunnya mutu pelayanan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta meningkatnya beban biaya perawatan dan pengobatan pasien. Tersedia regulasi pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit yang meliputi:

  1. kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik
  2. pembentukan komite/tim PRA yang terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur:
  1. Klinisi perwakilan SMF/bagian;
  2. Keperawatan;
  3. Instalasi farmasi;
  4. Laboratorium mikrobiologi klinik;
  5. Komite/Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI);
  6. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT)

Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba mempunyai tugas dan fungsi:

  1. Membantu kepala/direktur rumah rakit dalam menetapkan kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba;
  2. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit;
  3. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba;
  4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikoba;
  5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi;
  6. Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik;
  7. Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik;
  8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan;
  9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba;
  10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada kepala/direktur rumah sakit.

Rumah sakit menjalankan program pengendalian resistansi antimikroba sesuai peraturan perundang-undangan. Implementasi PPRA di rumah sakit dapat berjalan dengan baik, apabila mendapat dukungan penuh dari pimpinan rumah sakit dengan penetapan kebijakan, pembentukan organisasi pengelola program dalam bentuk komite/tim yang bertanggungjawab langsung kepada pimpinan rumah sakit, penyediaan fasilitas, sarana, SDM dan dukungan finansial dalam mendukung pelaksanaan kegiatan PPRA. Rumah sakit menyusun program kerja PPRA meliputi:

  1. Peningkatan pemahaman dan kesadaran penggunaan antimikroba bijak bagi seluruh tenaga kesehatan dan staf di rumah sakit, serta pasien dan keluarga, melalui pelatihan dan edukasi.
  2. Optimalisasi penggunaan antimikroba secara bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba (PGA).
  3. Surveilans penggunaan antimikroba secara kuantitatif dan kualitatif.
  4. Surveilans resistansi antimikroba dengan indikator mikroba multi drugs resistance organism (MDRO).
  5. Peningkatan mutu penanganan tata laksana infeksi, melalui pelaksanaan forum kajian kasus infeksi terintegrasi (FORKKIT).

Program dan kegiatan pengendalian resistansi antimikroba di rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan dilaksanakan, dipantau, dievaluasi dan dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan.

Rumah sakit membuat laporan pelaksanaan program/ kegiatan PRA meliputi:

  1. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga resistensi kesehatan tentang pengendalian antimikroba;
  2. Surveilans pola penggunaan antibiotik di rumah sakit (termasuk laporan pelaksanaan pengendalian antibiotik);
  3. Surveilans pola resistensi antimikroba;
  4. Forum kajian penyakit inteksi terintegrasi.

3. Elemen Penilaian PKPO 8

  1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang pengendalian resistansi antimikroba sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Rumah sakit telah menetapkan komite/tim PPRA dengan melibatkan unsur terkait sesuai regulasi yang akan mengelola dan menyusun program pengendalian resistansi antimikroba dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur rumah sakit.
  3. Rumah sakit telah melaksanakan program kerja sesuai maksud dan tujuan.
  4. Rumah sakit telah melaksanakan pemantauan dan evaluasi kegiatan PPRA sesuai maksud dan tujuan.
  5. Memiliki telah membuat laporan kepada pimpinan rumah sakit secara berkala dan kepada Kementerian Kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.

4. Standar PKPO 8.1

Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba (PGA).

5. Maksud dan Tujuan PKPO 8.1

Penggunaan antimikroba secara bijak adalah penggunaan antimikroba secara rasional dengan mempertimbangkan dampak muncul dan menyebarnya mikroba resistan. Penerapan penggunaan antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba (PGA), atau antimicrobial stewardship (AMS) adalah kegiatan strategis dan sistematis, yang terpadu dan terorganisasi di rumah sakit, bertujuan mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak, baik kuantitas maupun kualitasnya, diharapkan dapat menurunkan tekanan selektif terhadap mikroba, sehingga dapat mengendalikan resistansi antimikroba.

Kegiatan ini dimulai dari tahap penegakan diagnosis penyakit infeksi, penggunaan antimikroba berdasarkan indikasi, pemilihan jenis antimikroba yang tepat, termasuk dosis, rute, saat, dan lama pemberiannya. Dilanjutkan dengan pencatatan dan pemantauan keberhasilan dan/atau kegagalan terapi, potensial dan aktual jika terjadi reaksi yang tidak dikehendaki, interaksi antimikroba dengan obat lain, dengan makanan, dengan pemeriksaan laboratorium, dan reaksi alergi.

Yang dimaksud obat antimikroba meliputi: antibiotik (antibakteri), antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pada penatagunaan antibiotik, dalam melaksanakan pengendaliannya dilakukan dengan cara mengelompokkan antibiotik dalam kategori Access, Watch, Reserve (AWaRe).

Kebijakan kategorisasi ini mendukung rencana aksi nasional dan global WHO dalam menekan munculnya bakteri resistan dan mempertahankan kemanfaatan antibiotik dalam jangka panjang. Rumah sakit menyusun dan mengembangkan panduan penggunaan antimikroba untuk pengobatan infeksi (terapi) dan pencegahan infeksi pada tindakan pembedahan (profilaksis), serta panduan praktik klinis penyakit infeksi yang berbasis bukti ilmiah dan peraturan perundangan.

Rumah sakit menetapkan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan PGA dan memantau berdasarkan indikator keberhasilan program sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Elemen Penilaian PKPO 8.1

  1. Rumah sakit telah melaksanakan dan mengembangkan penatagunaan antimikroba di unit pelayanan yang melibatkan dokter, apoteker, perawat, dan peserta didik.
  2. Rumah sakit telah menyusun dan mengembangkan panduan praktik klinis (PPK), panduan penggunaan antimikroba untuk terapi dan profilaksis (PPAB), berdasarkan kajian ilmiah dan kebijakan rumah sakit serta mengacu regulasi yang berlaku secara nasional. Ada mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan penatagunaan antimikroba.
  3. Rumah sakit telah melaksanakan pemantauan dan evaluasi ditujukan untuk mengetahui efektivitas indikator keberhasilan program.

7. Komunikasi dan Edukasi (KE)

Gambaran Umum

Perawatan pasien di rumah sakit merupakan pelayanan yang kompleks dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan serta pasien dan keluarga. Keadaan tersebut memerlukan komunikasi yang efektif, baik antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) maupun antara Profesional Pemberi Asuhan (PPA) dengan pasien dan keluarga. Setiap pasien memiliki keunikan dalam hal kebutuhan, nilai dan keyakinan.

Rumah sakit harus membangun kepercayaan dan komunikasi terbuka dengan pasien. Komunikasi dan edukasi yang efektif akan membantu pasien untuk memahami dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengobatan yang dijalaninya. Keberhasilan pengobatan dapat ditingkatkan jika pasien dan keluarga diberi informasi yang dibutuhkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta proses yang sesuai dengan harapan mereka.

Rumah sakit menyediakan program edukasi yang didasarkan pada misi rumah sakit, layanan yang diberikan rumah sakit, serta populasi pasien. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) berkolaborasi untuk memberikan edukasi tersebut.

Edukasi akan efektif apabila dilakukan sesuai dengan pilihan pembelajaran yang tepat, mempertimbangkan keyakinan, nilai budaya, kemampuan membaca, serta bahasa.

Edukasi yang efektif diawali dengan pengkajian kebutuhan edukasi pasien dan keluarganya. Pengkajian ini akan menentukan jenis dan proses edukasi yang dibutuhkan agar edukasi dapat menjadi efektif. Edukasi akan berdampak positif bila diberikan sepanjang proses asuhan. Edukasi yang diberikan meliputi pengetahuan dan informasi yang diperlukan selama proses asuhan maupun setelah pasien dipulangkan.

Dengan demikian, edukasi juga mencakup informasi sumber-sumber di komunitas untuk tindak lanjut pelayanan apabila diperlukan, serta bagaimana akses ke pelayanan gawat darurat bila dibutuhkan. Edukasi yang efektif menggunakan berbagai format yang sesuai sehingga dapat dipahami dengan baik oleh pasien dan keluarga, misalnya informasi diberikan secara tertulis atau audiovisual, serta memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Standar ini akan membahas lebih lanjut mengenai:

  1. Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
  2. Komunikasi dengan pasien dan keluarga.

a. Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

1. Standar KE 1

Rumah sakit menetapkan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dengan tugas dan tanggung jawab sesuai peraturan perundangan.

2. Maksud dan Tujuan KE 1

Setiap rumah sakit mengintegrasikan edukasi pasien dan keluarga sebagai bagian dari proses perawatan, disesuaikan dengan misi, pelayanan yang disediakan, serta populasi pasiennya. Edukasi direncanakan sedemikian rupa sehingga setiap pasien mendapatkan edukasi yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Rumah sakit menetapkan pengaturan sumber daya edukasi secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, rumah sakit dapat menetapkan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS), menyelenggarakan pelayanan edukasi, dan mengatur penugasan seluruh staf yang memberikan edukasi secara terkoordinasi.

Staf klinis memahami kontribusinya masing-masing dalam pemberian edukasi pasien, sehingga mereka dapat berkolaborasi secara efektif. Kolaborasi menjamin bahwa informasi yang diterima pasien dan keluarga adalah komprehensif, konsisten, dan efektif. Kolaborasi ini didasarkan pada kebutuhan pasien, oleh karena itu mungkin tidak selalu diperlukan. Agar edukasi yang diberikan dapat berhasil guna, dibutuhkan pertimbangan- pertimbangan penting seperti pengetahuan tentang materi yang akan diedukasikan, waktu yang cukup untuk memberi edukasi, dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif.

3. Elemen Penilaian KE 1

  1. Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pelaksanaan PKRS di rumah sakit sesuai poin a) – b) pada gambaran umum.
  2. Terdapat penetapan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) yang mengkoordinasikan pemberian edukasi kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Tim atau unit PKRS menyusun program kegiatan promosi kesehatan rumah sakit setiap tahunnya, termasuk kegiatan edukasi rutin sesuai dengan misi rumah sakit, layanan, dan populasi pasiennya.
  4. Rumah sakit telah menerapkan pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga menggunakan media, format, dan metode yang yang telah ditetapkan.

b. Komunikasi dengan pasien dan keluarga

1. Standar KE 2

Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang jenis asuhan dan pelayanan, serta akses untuk mendapatkan pelayanan.

2. Maksud dan Tujuan KE 2

Pasien dan keluarga membutuhkan informasi lengkap mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit, serta bagaimana untuk mengakses pelayanan tersebut. Hal ini akan membantu menghubungkan harapan pasien dengan kemampuan rumah sakit. Rumah sakit memberikan informasi tentang sumber alternatif asuhan dan pelayanan di tempat lain, jika rumah sakit tidak dapat menyediakan asuhan serta pelayanan yang dibutuhkan pasien.

Akses mendapatkan informasi kesehatan diberikan secara tepat waktu, dan status sosial ekonomi perawatan pasien tidak menghalangi pasien dan keluarga untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

3. Elemen Penilaian KE 2

  1. Tersedia informasi untuk pasien dan keluarga mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit serta akses untuk mendapatkan layanan tersebut. Informasi dapat disampaikan secara langsung dan/atau tidak langsung.
  2. Rumah sakit menyampaikan informasi kepada pasien dan keluarga terkait alternatif asuhan dan pelayanan di tempat lain, apabila rumah sakit tidak dapat memberikan asuhan dan pelayanan yang dibutuhkan pasien.
  3. Akses mendapatkan informasi kesehatan diberikan secara tepat waktu, dan status sosial ekonomi perawatan pasien tidak menghalangi pasien dan keluarga untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
  4. Terdapat bukti pemberian informasi untuk pasien dan keluarga mengenai asuhan dan pelayanan di rumah sakit.

4. Standar KE 3

Rumah sakit melakukan pengkajian terhadap kebutuhan edukasi setiap pasien, beserta kesiapan dan kemampuan pasien untuk menerima edukasi.

5. Maksud dan Tujuan KE 3

Edukasi berfokus pada pemahaman yang dibutuhkan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan, berpartisipasi dalam asuhan dan asuhan berkelanjutan di rumah. Untuk memahami kebutuhan edukasi dari setiap pasien beserta keluarganya, perlu dilakukan pengkajian. Pengkajian ini memungkinkan staf rumah sakit untuk merencanakan dan memberikan edukasi sesuai kebutuhan pasien. Pengetahuan dan keterampilan pasien dan keluarga yang menjadi kekuatan dan kekurangan diidentifikasi untuk digunakan dalam membuat rencana edukasi. Pengkajian kemampuan dan kemauan belajar pasien/keluarga meliputi:

  1. Kemampuan membaca, tingkat Pendidikan;
  2. Bahasa yang digunakan (apakah diperlukan penerjemah atau penggunaan bahasa isyarat);
  3. Hambatan emosional dan motivasi;
  4. Keterbatasan fisik dan kognitif;
  5. Kesediaan pasien untuk menerima informasi; dan
  6. Nilai-nilai dan pilihan pasien.

Hasil pengkajian tersebut dijadikan dasar oleh staf klinis dalam merencanakan dan melaksanakan pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga. Hasil pengkajian didokumentasikan di rekam medis pasien agar PPA yang terlibat merawat pasien dapat berpartisipasi dalam proses edukasi.

6. Elemen Penilaian KE 3

  1. Kebutuhan edukasi pasien dan keluarga dinilai berdasarkan pengkajian terhadap kemampuan dan kemauan belajar pasien dan keluarga yang meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan, dan dicatat di rekam medis.
  2. Hambatan dari pasien dan keluarga dalam menerima edukasi dinilai sebelum pemberian edukasi dan dicatat di rekam medis.
  3. Terdapat bukti dilakukan pengkajian kemampuan dan kemauan belajar pasien/keluarga, serta hasil pengkajian digunakan PPA untuk membuat perencanaan kebutuhan edukasi.

7. Standar KE 4

Edukasi tentang proses asuhan disampaikan kepada pasien dan keluarga disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan bahasa yang dimengerti oleh pasien dan keluarga.

8. Maksud dan Tujuan KE 4

Informasi dan edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga sesuai dengan bahasa yang dipahaminya sesuai hasil pengkajian.

Mereka ikut terlibat dalam pembuatan keputusan dan berpartisipasi dalam asuhannya, serta dapat melanjutkan asuhan di rumah. Pasien/keluarga diberitahu tentang hasil pengkajian, diagnosis, rencana asuhan dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak diharapkan.

Pasien dan keluarga diedukasi terkait cara cuci tangan yang aman, penggunaan obat yang aman, penggunaan peralatan medis yang aman, potensi interaksi antara obat dan makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri, dan teknik rehabilitasi serta edukasi asuhan lanjutan di rumah.

9. Elemen penilaian KE 4

  1. Terdapat bukti bahwa edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga telah diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami.
  2. Terdapat bukti bahwa pasien/keluarga telah dijelaskan mengenai hasil pengkajian, diagnosis, rencana asuhan, dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak diharapkan.
  3. Terdapat bukti edukasi kepada pasien dan keluarga terkait dengan cara cuci tangan yang aman, penggunaan obat yang aman, penggunaan peralatan medis yang aman, potensi interaksi obat-obat dan obat-makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri, dan teknik rehabilitasi serta edukasi asuhan lanjutan di rumah.

10. Standar KE 5

Metode edukasi dipilih dengan mempertimbangkan nilai yang dianut serta preferensi pasien dan keluarganya, untuk memungkinkan terjadinya interaksi yang memadai antara pasien, keluarga pasien dan staf.

11. Maksud dan Tujuan KE 5

Proses edukasi akan berlangsung dengan baik bila mengunakan metode yang tepat. Pemahaman tentang kebutuhan edukasi pasien serta keluarganya akan membantu rumah sakit untuk memilih edukator dan metode edukasi yang sesuai dengan nilai dan preferensi dari pasien dan keluarganya, serta mengidentifikasi peran pasien/keluarga.

Dalam proses edukasi pasien dan keluarga didorong untuk bertanya/berdiskusi agar dapat berpartisipasi dalam proses asuhan. Materi edukasi yang diberikan harus selalu diperbaharui dan dapat dipahami oleh pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga diberi kesempatan untuk berinteraksi aktif sehingga mereka dapat memberikan umpan balik untuk memastikan bahwa informasi dimengerti dan bermanfaat untuk diterapkan. Edukasi lisan dapat diperkuat dengan materi tertulis agar pemahaman pasien meningkat dan sebagai referensi untuk bahan edukasi selanjutnya.

Rumah sakit harus menyediakan penerjemah sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga. Bila di rumah sakit tidak ada petugas penerjemah maka dapat dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga diluar rumah sakit.

12. Elemen Penilaian KE 5

  1. Rumah sakit memiliki proses untuk memastikan bahwa pasien dan keluarganya memahami edukasi yang diberikan.
  2. Proses pemberian edukasi di dokumentasikan dalam rekam medik sesuai dengan metode edukasi yang dapat diterima pasien dan keluarganya.
  3. Materi edukasi untuk pasien dan keluarga selalu tersedia dan diperbaharui secara berkala.
  4. Informasi dan edukasi disampaikan kepada pasien dan keluarga dengan menggunakan format yang praktis dan dengan bahasa yang dipahami pasien dan keluarga.
  5. Rumah sakit menyediakan penerjemah (bahasa dan bahasa isyarat) sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga.

13. Standar KE 6

Dalam menunjang keberhasilan asuhan yang berkesinambungan, upaya promosi kesehatan harus dilakukan berkelanjutan.

14. Maksud dan Tujuan KE 6

Setelah mendapatkan pelayanan di rumah sakit, pasien terkadang membutuhkan pelayanan kesehatan berkelanjutan. Untuk itu rumah sakit perlu mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat memberikan edukasi dan pelatihan yang tersedia di komunitas, khususnya organisasi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan dukungan promosi kesehatan serta pencegahan penyakit.

Fasilitas pelayanan Kesehatan tersebut mencakup Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini dilakukan agar tercapai hasil asuhan yang optimal setelah meninggalkan rumah sakit.

15. Elemen penilaian KE 6

  1. Rumah sakit mengidentifikasi sumber-sumber yang ada di komunitas untuk mendukung promosi kesehatan berkelanjutan dan edukasi untuk menunjang asuhan pasien yang berkelanjutan.
  2. Rumah sakit telah memiliki jejaring di komunitas untuk mendukung asuhan pasien berkelanjutan.
  3. Memiliki bukti telah disampaikan kepada pasien dan keluarga tentang edukasi lanjutan dikomunitas. Rujukan edukasi tersebut dilaksanakan oleh jejaring utama yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
  4. Terdapat bukti edukasi berkelanjutan tersebut diberikan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan.

16. Standar KE 7

Profesional Pemberi Asuhan (PPA) mampu memberikan edukasi secara efektif.

17. Maksud dan Tujuan KE 7

Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang memberi asuhan memahami kontribusinya masing-masing dalam pemberian edukasi pasien. Informasi yang diterima pasien dan keluarga harus komprehensif, konsisten, dan efektif. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) diberikan pelatihan sehingga terampil melaksanakan komunikasi efektif.

18. Elemen penilaian KE 7

  1. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) telah diberikan pelatihan dan terampil melaksanakan komunikasi efektif.
  2. PPA telah memberikan edukasi yang efektif kepada pasien dan keluarga secara kolaboratif.